PASUKAN PANJI HITAM THE BLACK BANNER

Sunday, May 20, 2012

Pentagon Adalah ‘Ban Berjalan’ Bagi Kebencian dan Permusuhan Terhadap Islam

“Kami tidak berperang melawan Islam” - Presiden Obama  
Hanya dua bulan yang lalu, para pejabat Pentagon berulang kali memohon kepada Pastor Terry Jones untuk tidak membakar salinan Quran karena khawatir bahwa tindakannya itu bisa membangkitkan sentimen Muslim dan membahayakan nyawa tentara AS yang bertugas di Afghanistan dan tempat-tempat lain. Namun, sebulan kemudian Pentagon berhasil mengalahkan kefanatikan Terry Jones dan telah terungkap bahwa mereka sendiri merupakan ujung tombak perang salib Amerika melawan Islam dan berusaha memusnahkannya secara total. Letkol Matthew Dooley, yang bertanggung jawab atas pelatihan atas ratusan pejabat AS yang memberikan pandangan-pandangan yang menyimpang atas Islam, mengatakan dalam salah satu presentasinya: “Kami sekarang telah sampai pada pemahaman bahwa tidak ada yang namanya Islam moderat … Oleh karena sudah waktunya bagi Amerika untuk memperjelas maksud kita sesungguhnya. Ideologi barbar ini tidak akan lagi bisa ditolerir. Islam harus berubah atau kita akan memfasilitasi kehancuran dirinya. “


Orang tidak perlu melihat jauh untuk menemukan bagaimana dalam dan luasnya permusuhan Pentagon terhadap Islam. Di Afghanistan, pelecehan mesin-mesin perang Amerika terhadap Islam terjadi secara rutin. Hal ini termasuk tindakan pengecut pembakaran Al-Qur’an oleh militer Amerika yang fanatik. Di tempat-tempat lain, pasukan Amerika sambil bermain-main mengencingi mayat-mayat warga Afghanistan dan merasa senang dengan penyiksaan atas mayat-mayat itu. Jangan pernah lupakan penyiksaan secara kejam atas para tahanan di Bagram, pemerkosaan terhadap gadis-gadis muda dan pembantaian penduduk sipil yang tidak berperi kemanusiaan telah menjadi ciri dari perang salib Amerika yang berbahaya di Afghanistan. Betapapun kerasnya Amerika mencoba berupaya untuk mengindoktrinasi para prajuritnya agar membenci Islam, insiden yang terakhir ini, yang merupakan sebuah episode terbaru merupakan pengingat yang jelas ke seluruh dunia bahwa barbarisme dan tidak adanya emansipasi dari pemerintah tiran ini adalah ciri khas kebijakan Amerika di dunia Muslim.

Sudah merupakan rahasia umum bahwa di mana pun di dunia Muslim,  Amerika melakukan campur tangan -  negara itu selalu meninggalkan jejak kematian dan kehancuran - sebuah reputasi yang sangat tidak layak bagi sebuah bangsa terkemuka yang juga membanggakan diri pada toleransi. Lihatlah contohnya, pembunuhan secara serampangan atas banyak warga sipil tak bersenjata oleh pesawat-pesawat drone Amerika dan Pasukan Khususnya di Pakistan, atau kekebalan diplomatik yang diberikan kepada Raymond Davis bagi pembunuhan berdarah dingin yang dilakukannya atas orang-orang Pakistan di siang bolong. Hal ini jelas merupakan kecenderungan Amerika untuk mengabaikan HAM yang dikhotbahkan oleh negera itu ke seluruh dunia. Ambil contoh,  perang yang dilakukan Amerika di Irak:  Tindakan mempermalukan dan kekejaman terhadap para tahanan Irak di Abu Ghraib dan pembunuhan atas penduduk sipil tidak bersenjata di Haditha merupakan pengingat dan pertanda tentang buah dari pendudukan Irak oleh Amerika. Namun, meskipun tindakan-tindakan barbar seperti dilakukan oleh militer AS sendiri, tentaranya diberikan banyak pujian dan kejahatan yang mereka lakukan terhadap kemanusiaan diabaikan. Pada akhir tahun lalu, Presiden Obama mengatakan kepada para tentara yang pulang dari Irak: “Sebagai komandan tertinggi anda, dan atas nama sebuah bangsa yang bersyukur, saya bangga akhirnya dapat mengatakan dua kata itu.”

Namun yang lebih buruk lagi, tidak ada upaya serius para tokok politik Amerika atau para perwira seniornya untuk mengubah perilaku tidak beradab pasukan Amerika. Di manapun mereka ditempatkan, Pentagon segera mencari kekebalan hukum dari penuntutan, sebagai syarat wajib atas diberikannya pakta keamanan atau bantuan militer. Dengan kata lain, tidak ada dampak atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Amerika terhadap penduduk  setempat. Jika kebetulan ada seorang tentara Amerika yang terbukti bersalah, pengadilan pura-pura kemudian digelar oleh militer AS (yang merupakan kesimpulan dari pengadilan atas pembantaian di Haditha pada awal tahun ini) untuk memastikan bahwa hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Militer AS berusaha untuk menanamkan kebiadaban di dalam jajarannya dengan memastikan bahwa perilaku semacam ini dilembagakan. UU Otorisasi Pertahanan Nasional (National Defence Authorization Act) yang disahkan oleh Senat Amerika mencerminkan tindakan tersebut, yang melegalkan seks dengan hewan dan mengizinkan sodomi.


Ketika militer AS berkomitmen untuk melestarikan tindakan barbar dan nilai-nilai tercela, seseorang hanya bisa membayangkan bagaimana pelatihan militer yang diajarkan Amerika kepada negara-negara di seluruh dunia. Jadi, apakah akar penyebab di balik perilaku yang bertentangan dengan logika manusia itu? Penjelasan dengan beralasan adanya “beberapa apel busuk ” dalam jajaran (militer) mereka tidak lagi masuk akal dan tidak pantas untuk didiskusikan.  Amerika juga tidak bisa lagi mengatakan bahwa budaya militer yang dilembagakan oleh Pentagon sebagai satu-satunya hal yang dianggap bertanggung jawab yang memelihara generasi muda pria dan wanita, yang menunjukkan kurangnya penghargaan atas budaya asing dan manusia.


Sebaliknya, budaya militer itu didasarkan pada fondasi dasar dimana diatasnya seluruh masyarakat Amerika dibangun. Pendorong tunggal bagi perilaku semacam itu adalah kebebasan, yang merupakan landasan yang dihargai di Amerika dan bertanggung jawab bagi pembentukan budaya populer (pop culture), budaya perusahaan (corporate culture), dan nilai-nilai sosial dan etika. Hal inilah yang menjadi hal yang sangat mendasar bahwa militer di negara-negara Barat, terutama di Amerika, bertanggung jawab bagaimana mereka mencetak sikap para personil militernya.

 Pria dan wanita, yang sejak usia muda dicecoki dengan makanan kebebasan, mendaftar sebagai tentara sebagai pembela kebebasan, menjalani pelatihan bersenjata dan akhirnya dikerahkan di luar negeri. Di sini, mereka menemukan diri mereka pada lingkungan yang berbeda; hukum dan pembatasan dari negara asal tidak lagi mengena pada apa yang seseorang bisa katakan dan lakukan dan senjata yang mereka miliki membuat mereka merasa bahwa mereka pada akhirnya dapat mengatakan dan melakukan apapun yang mereka inginkan. Tentu, keyakinan penduduk lokal, nilai-nilai, harta benda, kehidupan dan martabat mereka dengan cepat dikalahkan - semua atas nama kebebasan.

Kebebasan adalah ide yang fantastis dan selalu menyebabkan perselisihan dan kekerasan. Barat mengklaim bahwa individu bebas untuk melakukan apapun yang mereka pilih dan melakukan indoktrinasi penduduknya dengan keinginan untuk bebas. Tapi, dalam prakteknya, hal ini mengarahkan kepada konflik tak berujung diantara masyarakat, sebagaimana pandangan yang diungkapkan oleh sebagian orang, atau perilaku yang ditunjukkan oleh sebagian orang, dapat diartikan sebagai tindakan ofensif dan menghina orang lain. Oleh karena itu, pemerintah Barat yang terus-menerus melakukan campur tangan dalam perselisihan dan mencari celah atas hukum untuk melindungi kebebasan dari sebagian orang lain dengan mencabut kebebasan mereka untuk mengungkapkan pikiran dan berperilaku dengan cara tertentu.


Seringkali, yang mendapat untung dari kebebasan itu adalah individu atau kelompok yang memiliki pandangan atau perilaku yang sama dengan kepentingan pemerintah, atau para kapitalis kuat yang memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruhnya atas pemerintah. Itulah sebabnya begitu banyak lembaga, termasuk lembaga militer di Barat, yang diberikan kebebasan untuk menyerang Islam karena retorika dan kebijakan diskriminatif  berapi-api mereka selaras dengan perang yang belum selesai yang dilakukan Barat terhadap Islam. Namun, jika media Barat, atau banyak lembaga didapatkan menghina orang-orang Yahudi atau negara Zionis Israel, pemerintah Barat dengan cepat akan mengambil langkah tegas untuk membatasi penghinaan yang mereka lakukan.


Islam tidak mempercayai ide kebebasan yang merupakan isapan jempol, di mana segelintir orang memutuskan pikiran dan perilaku mana yang secara hukum bisa dilakukan tanpa sensor, dan yang pikiran dan perilaku mana yang harus tunduk pada kritik dan dapat diadili di pengadilan. Islam menetapkan bahwa kehidupan, kehormatan, darah, kekayaan, agama, ras dan pikiran harus dilindungi oleh Negara Islam. Semua warga Khilafah dijamin hak-hak atas hal-hal itu, terlepas dari apakah mereka Muslim atau non-Muslim.


Islam juga melindungi hak-hak non-Muslim untuk beribadah tanpa takut dikenakan retribusi, atau fitnah atas kepercayaan mereka. Rasulullah SAW bersabda:
Orang yang menyakiti seorang kafir dzimmi (non muslim yang merupakan warga negara Khilafah), berarti menyakitiku dan orang yang menyakitiku adalah orang yang menyakiti Allah”. Oleh karena itu,  adalah terlarang bagi seorang Muslim untuk menghina kepercayaan non-Muslim, menumpahkan darah mereka, membahayakan tempat ibadah mereka dan menodai harta milik mereka.

Sejarah Islam tidak ada bandingannya dalam kapasitasnya untuk menjamin hak-hak agama non-Muslim di bawah naungan Khilafah. Pada zaman Umar bin Khattab (RA), tentara Islam menaklukkan Suriah, tapi dengan cepat mengembalikan Jizyah yang dikumpulkan dari Homs, sebuah kota yang dihuni oleh orang Kristen dan Yahudi. Kaum Muslim beralasan bahwa mereka mengembalikan uang itu kepada non-Muslim karena mereka tidak dapat melindungi hidup, darah, kehormatan dan harta mereka dari angkatan bersenjata Romawi yang mampu mempersenjatai diri mereka kembali. Non-Muslim begitu terkesan dengan hal ini sehingga mereka berkata: “
Kami menginginkan hukum dan keadilan anda dan itu jauh lebih baik daripada keadaan kami sebelumnya dalam penindasan dan tirani. Dengan bantuan ‘amil anda, kami ingin mengenyahkan tentara Heraklius dari kota ini. ” Orang-orang Yahudi kemudian bangkit dan berkata: “Kami bersumpah dengan Taurat, tidak ada Gubernur Heraklius yang akan memasuki kota Homs, kecuali kita adalah orang yang pertama dikalahkan dan kami akan kelelahan!” Sambil mengatakan hal ini, mereka kemudian menutup gerbang kota dan menjaganya.

Jika militer Amerika benar-benar ingin menjangkau massa Muslim dan merebut hati dan pikiran mereka, paling tidak yang mereka dapat lakukan adalah merubah secara radikal indoktrinasi para perwira militernya dengan memberikan pandangan yang lebih seimbang atas Islam yang menyeluruh termasuk Khilafah dan kontribusi Islam bagi peradaban manusia. Mungkin para trainer di Pentagon dapat mengambilnya dari tulisan-tulisan Bernard Shaw yang mengatakan, “
Saya selalu sangat menghargai agama Muhammad karena vitalitasnya yang indah. Inilah satu-satunya agama yang bagi saya tampak memiliki kapasitas untuk berasimilasi kepada fase perubahan eksistensi yang dapat membuat dirinya menjadi menarik bagi setiap zaman Saya telah mempelajari sejarah hidup Muhammad - seorang yang luar biasa dan menurut saya jauh dari pandangan anti-Kristus, dialah yang seharusnya disebut Juruselamat Kemanusiaan (the Saviour of Humanity)”  (Sir George Bernard Shaw dalam ‘The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936). Atau baru-baru ini terdapat tulisan dari salah satu tokoh bisnis terkemuka Amerika, Carly Fiorina yang mengatakan, “Dahulu pernah ada sebuah peradaban terbesar di dunia. Peradaban itu mampu menciptakan sebuah super-negara yang menguasai benua yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain, dan dari iklim utara hingga daerah tropis dan gurun. Dalam kekuasaannya, hidup ratusan juta orang, dengan kepercayaan dan etnis yang berbeda… perlindungan militernya memungkinkan perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jangkauan perdagangan dari peradaban ini terbentang dari Amerika Latin hingga Cina, dan di wilayah diantara keduanya … Sementara peradaban modern Barat mengambil banyak sifat-sifat ini, peradaban yang sedang saya bicarakan ini adalah dunia Islam dari tahun 800 hingga tahun 1600, yang termasuk di dalamnya Imperium Utsmani dan pengadilan di kota-kota Baghdad, Damaskus dan Kairo, dan para penguasa yang tercerahkan seperti Sulaiman Yang Agung. ” (Technology, Business and Our Way of  Life: What’s Next”, September 26, 2001).
 
Kegagalan untuk melakukan revisi pada akar dan cabang kurikulum pendidikan bagi militer Amerika oleh banyak institusi di Amerika memang hanya akan memperkuat kesan dalam pikiran Muslim bahwa Amerika benar-benar berusaha untuk menghancurkan Islam. Hal ini juga memungkinkan komplotan kecil dari kelompok neo-konservatif (yang merupakan para ekstremis) untuk melakukan kejahatan baru atas nama rakyat Amerika (yang mayoritas moderat). Amerika suka menggunakan label-label seperti kaum ekstremis dan moderat untuk menggambarkan dunia Muslim, namun mereka tidak menyadari fakta bahwa mereka sedang disandera oleh sebuah faksi ekstremis kecil, yang teguh dalam tekad mereka untuk menteror peradaban lain atas nama mereka .

No comments:

Post a Comment

Popular Posts