Informasi terkini dari jaringan saya di beberapa negara ASEAN, mengabarkan bahwa Pasukan Amerika sudah mulai menduduki Mindanao dan Kepulauan Sulu. Bahkan mulai mengambil posisi di Putra Jaya, Malaysia. Perkembangan ini semakin memperkuat prediksi saya dalam beberapa artikel sebelumnya bahwa kehadiran militer AS di Darwin, Australia, bertujuan untuk menyiagakan segala kemungkinan bila terjadi Perang Terbuka antara Amerika Serikat versus Cina di kawasan Asia Tenggara.
Dalam beberapa artikel saya sebelumnya, jelas ada indikasi kuat semakin menajamnya konflik daerah perbatasan antara Filipina dan Cina terkait dengan daerah di sekitar Laut Cina Selatan yang diyakini kaya akan sumberdaya alam seperti minyak, gas dan tambang.
Lalu apa sisi strategis terkait informasi kehadiran militer AS di Kepulauan Sulu? Mari kita kilas balik sejenak.
Meski selama 400 tahun tidak pernah jadi bagian wilayah jajahan bangsa mana pun, Perjanjian Paris (10 Desember 1898), secara sepihak menyatakan bahwa Sulu dijual oleh Spanyol kepada AS sebagai pemenang. Perjanjian ini membuka pintu invasi militer AS ke Kesultanan Sulu, 19 Mei 1899, tapi tak mengalahkannya. Kekuasaan AS secara sepihak menyatukan Kesultanan Sulu dan Mindanao, sebagai satu wilayah. Sementara Sabah dijadikan bagian dari wilayah Malaysia.
Dari fakta sekilas ini saja, jelas lah sudah bahwa Amerika secara merasa memiliki hak sejarah untuk menguasai Kepulauan Sulu. Tapi, benarkah Amerika semata-mata bermaksud mengincar Kepulauan Sulu?
Sumber kami dari Kepulauan Sulu, membenarkan bahwa kehadiran militer Amerika di Jolo, Sulu Darul Islam, karena adanya dorongan kuat untuk menguasai Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Bila perlu mengambil resiko terjadinya Perang terbuka antara Amerika Serikat dan Cina.
Karena menurut prediksi dan pengamatan dari beberapa network associate di Kepulauan Sulu kepada The Global Review, Amerika sepertinya sangat berkepentingan untuk mengobarkan perang agar bisa lari dari kejatuhan mata uang dolar(krisis ekonomi) di dalam negeri. Dalam kerangka skema strategis ini, menguasai Kepulauan Sulu menjadi salah satu sasaran yang cukup penting.
Namun menariknya, berdasarkan studi pustaka yang dilakukan oleh Tim Riset Global Future Institute, Kepulauan Sulu sejatinya lebih dekat dengan Indonesia daripada dengan Filipina.
Kesultanan Sulu berada di sebuah Pulau Kecil, tak jauh dari Kalimantan Utara, yang merupakan bagian dari Nusantara. Wilayah Nusantara sendiri aslinya meliputi Kesultanan Pattani (Thailand Selatan), sejumlah Kesultanan di Semanjung Malaysia (saat ini tersisa Sembilan Kesultanan), Kesultanan Tumasik, sejumlah Kesultanan di Kepulauan Indonesia, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Sulu sendiri, yang kini menjadi bagian dari Filipina Selatan.
Berdirinya Kesultanan Sulu berlangsung hampir bersaman dengan berdirinya Kesultanan lain di wilayah ini, yaitu di abad ke 13 M.
Sialnya, ada fase dalam sejarah ketika Kesultanan Sulu sendiri sempat memberi ruang pada Amerika untuk menguasai secara geografis daerah tersebut.
Misal, dalam masa transisi kekuasaan AS kepada pemerintahan nasional Filipina, Sultan Jamalul Kiram II, 9 Juni 1921, mengajukan petisi agar Kepulauan Sulu dijadikan Wilayah Permanen AS. Sebuah petisi lain menyusul, Deklarasi Hak dan Tujuan, 1924, menyatakan keinginan rakyat Sulu untuk secara permanen menjadi bagian dari teritori AS atau sebagai 'kesultanan independen dengan sebutan Bangsa Moro. Maret 1935, para pemimpin Sulu mengeluarkan Deklarasi Dansalan dengan tegas menolak aneksasi Tanah Moro oleh Republik Filipina, yang disiapkan kemerdekaannya dan dinyatakan merdeka oleh AS pada 1946.
Sebutan 'Bangsa Moro' sesungguhnya mengacu kepada beberapa etnis Muslim yang berbeda. Bangsa Moro setidaknya terbagi dua etnis besar, Bangsa Tau Sug, yang mukim di Kepulauan Sulu, dan Bangsa Mindanao, yang mukim di sebagian besar P Mindanao, di sebelah utaranya. Keduanya merupakan Kesultanan Islam yang terpisah (Sulu dan Magindanao). Di luar dua etnis utama ini masih ada berbagai etnis lain, Yakan, Kagayan, Iranum, Kalibungan, serta Suku Bajo, yang sebagian juga hidup di wilayah Malaysia dan Indonesia.
Sultan Muizzudin II didaulat sebagai Sultan pada 19 Maret 2009, sebelumnya namanya adalah Datu Ladjamura bin Datu Wasik Aranan. Pada 17 November 2010 rakyat Sulu telah kembali menegaskan dan menyatakan diri sebagai kesultanan merdeka, Kesultanan Sulu Darul Islam, dengan kota Jolo sebagai ibu kotanya.
Namun saya belum bisa memprediksi seberapa krusial isu kemerdekaan Kesultanan Sulu ini akan memicu semakin rumitnya krisis di kawasan Asia Tenggara. Karena jika informasi sumber the Global Review ini benar, kehadiran militer AS di Kesultanan Sulu tersebut, tetap harus dibaca dalam kerangka persekutuan tradisional AS-Filipina sejak negara Paman Sam ini mengambil-alih Filipina dari tangan Spanyol.
Dalam situasi ketika persekutuan Filipina dan Amerika terbilang cukup solid, maka adanya isu kemerdekaan Kesultanan Sulu justru akan kontra produktif dibandingkan pecahnya Indonesia menjadi 7 bagian sebagaimana rekomendasi yang pernah diajukan oleh Rand Corporation kepada Presiden Bill Clinton pada 1998.
Lantas, seberapa valid informasi kehadiran militer AS di Kepulauan Sulu dan Mindanao serta Putra Jaya, Malaysia?
Selain masih terdapat sedikit masalah ekonomi akibat krisis, persoalan militer Cina ternyata lumayan juga. Bahwa pertahanannya tergantung pada laut lepas, sementara konfigurasi Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur sangat mudah diblokade dari luar.
Misalnya Laut Timur terbentang di antara pulau-pulau Korea, Jepang dan Taiwan, kemudian Laut Cina Selatan lebih tertutup lagi yakni pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura. Keprihatinan besar Beijing saat ini adalah rencana blokade oleh AS yang bakalan berdampak signifikan terhadap perekonomian Cina secara menyeluruh. Maka informasi di atas benar adanya, kemungkinan dalam percepatan blokade Laut Cina Selatan yang akan menggoyahkan perekonomian Cina nantinya. Istilahnya ditebar shock and awe dulu, setelah kepayahan baru digempur. Lagu lama ala AS memang.
Namun demikian, di tengah semakin memanasnya pertarungan perebutan pengaruh antara AS dan Cina di Luat Cina Selatan dan Selat Malaka, soal Kesultanan Sulu yang ingin lepas dari kedaulatan Filipina kiranya perlu menjadi perhatian intensif kita bersama.
No comments:
Post a Comment