Fenomena penghinaan-penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad, sebagai sosok paling dimuliakan kaum Muslim ini mengingatkan kita kepada salah satu episode dari sirah Nabi kita tercinta, yaitu ketika panggung jahiliyah menampilkan latar Darun-Nadwah, sebuah balai pertemuan para tokoh Quraisy.
Pada saat itu suasana batin para tokoh Quraisy diliputi keputusaan setelah berbagai hal yang dilakukan untuk memerangi “agama baru” yang dibawa Muhammad menemui kegagalan. Malah kelompok orang beriman semakin banyak dan semakin kuat.
Di altar keputusaasaan itu, mereka mulai meninggalkan arena luhur pertempuran gagasan yang selama ini mereka geluti dan beralih ke strategi murahan; sebuah stigma negatif. Maka diputuskanlah stigma terhadap Muhammad sebagai seorang penyihir yang keahliannya menyihir dengan kata-kata, sebagaimana hari ini manusia mulia tersebut juga distigmakan kalangan Barat melalui produk budaya mereka bernama media, sebagai tokoh maniak seks dan haus darah.
Stigma ini menjadi senjata terakhir kaum Quraisy untuk membentuk perspektif publik tentang bahaya dakwah Muhammad. Langkah ini, sebenarnya sekaligus menandakan berakhirnya intelektualitas dan peradaban kaum Quraisy.
Mereka yang sebelumnya menentang dakwah Muhammad lewat pertempuran gagasan, misalnya mempertanyakan hari akhir, menggungat doktrin ke-esa-an Allah dan mencoba menandingi ayat Qur’an, kini meninggalkan itu semua dan menggunakan bahasa cemoohan yang nyaris nihil dari aktivitas intelektual.
Sejarah menunjukkan hal tersebut berlanjut ketika musuh Islam bergesar dari Jazirah Arab ke benua Barat. Peradaban Barat-Kristen gagal menentang Islam secara intelektual dan beralih ke bahasa senjata dan tak lupa pula stigma.
Umat Islam divonis sebagai saracen, kaum sesat dan Ahlu Bid’ah. Namun seiring stigma itu, posisi Islam justru makin menguat di seluruh dunia. Mundurnya musuh Islam secara intelektualitas sama halnya menangnya Islam secara intelektual dan peradaban.
Kekosongan umat manusia dari intelektualitas menjadi jawaban dakwah Islam ; segera setelah stigma Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam disebar, bangsa Arab menyadari murahnya upaya Quraisy ini sehingga kaum Aus dan Khazraj memutuskan menerima dakwah Nabi.
Sama pula fenomena ini dengan yang terjadi di Barat setelah lebih dari 1400 tahun. Segera setelah julukan saracen dilekatkan ke tubuh umat Islam, bangsa-bangsa Asia Barat dan Eropa Timur justru berbondong-bondong memeluk Islam lantaran melihat keadilan dalam Islam, jauhnya Islam dari babarisme dan menyaksikan intelektualitas murni berdasar akidah rasional yang jauh dari gambaran saracen. Mereka berpaling dari paganisme dan Kristen akibat ulah dari propagandis-propagandis mereka sendiri, yang sebenarnya menggambarkan intelektual murahan.
Ghazwu al Fikr, bukan Stigma
Hari-hari ke depan, nampaknya yang akan kita saksiwan tidaklah jauh berbeda. Kita tahu, bahwa di awal abad lalu, tidak semua orientalis bersusah payah menyusun argumentasi untuk menghancurkan pemikiran Islam. Ada yang cukup dengan mengatakan bahwa Muhammad terkena ayan, selesai perkara. Pada tahun 2005, PM Inggris Tony Blair dengan lantang menyebut Islam sebagai “ideologi setan”, setelah ia tidak pernah menyambut ajakan untuk debat secara intelektual. Opini global terorisme dan rentetan kasus penghinaan Nabi barangkali adalah upaya terakhir mereka memerangi Islam bersenjatakan stigma-stigma yang juga tak kalah ada hasilnya.
Dengan upaya stigmatisasi ini, yang berarti ditinggalkannya intelektualitas, sadar atau tidak sadar mereka telah menghancurkan upaya mereka sendiri di awal abad yang lalu ketika mereka melakukan infiltrasi pemikiran ke tubuh umat Islam lewat ghazwu al Fikr (prang pemikiran), dan bukan stigma.
Ketika itu para propagandis terbantu oleh para misionaris dan bahkan putera-putera umat sendiri yang menyusun ulang pemikiran Islam lewat perspektif ideologi Barat. Barat sudah bersusah payah memalingkan umat lewat upaya intelektual, dan hari ini upaya mereka tersebut dihancurkan oleh stigmatisasi para penerus mereka sendiri yang dengan mudah tercium kemurahannya oleh seluruh dunia. Barat telah memulai akhir dari peradaban dan intelektualisme mereka sendiri.
Ketika barat begitu bangganya dengan nilai-nilai demokrasi dengan mengatakan kebebasan berbicara (freedom of speech), di saat yang sama ia justru kebingungan memposisikan batasan antara kebebasan berbicara dan larangan mencela, menghina dan mencaci-maki (hate speech).
“Bagi kami, khususnya bagi saya secara personal, video ini benar-benar menjijikkan dan sangat tercela. Nampaknya memang sengaja memiliki tujuan menghina, untuk merendahkan sebuah agama yang besar dan memprovokasi kemarahan,” kata Menlu AS, Hillary Clinton, Kamis (13/09/2012).
Namun ada lagi pernyataan menarik lain darinya. “Saya tahu sulit bagi sebagian orang untuk memahami bahwa AS tak bisa atau tidak begitu saja mencegah video tercela seperti ini muncul ke permukaan. Dunia saat ini dengan teknologi terkini, hal itu mustahil,” terang Clinton. Maksudnya, tentu saja Amerika mengecam, tetapi tetap melindungi setiap orang-orang yang akan mencela agama lain, termasuk Islam.
“Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya tradisi panjang kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan hukum kami, dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai,” jelasnya ibu negara AS tersebut.
Prancis misalnya, bangga menjadi Negara beridiologi sekuler. Bangga pula menjadikan free of speech sebagai bagian demokrasinya. Tapi negeri ini punya aturan UU Anti Semit bagi siapa saja menghina, mencaci, mencela agama Yahudi dan penganutnya. Siapa yang melakukan berdampak dengan hukuman berat.
Inilah wajah-wajah kebingungan sebagai simbol dan representasi nilai-nilai Barat, yang sesungguhnya kurang layak dipertahankan.
Adalah seorang sejarahwan Prancis, Roger Garaudy dan penulis buku “The Founding Myths”. Ia sudah kenyang masuk bui karena dalam banyak karyanya sering menggugat dan mempertanyakaan adanya kamas gas dan peristiwa Holocoust. Ia bahkan pernah diadili dan didenda 40.000 dollar.
David Irving pernah didenda 10.000 mark karena menyatakan kamar gas hanyalah tipuan. Robert Faurrison, profesor sastra Prancis, diminta berhenti mengajar karena mempertanyakan eksistensi kamar gas. Ia di adili dan dihukum karena tuduhan "pemalsuan sejarah", lalu dipukuli oleh Yahudi.
Hal serupa juga terjadi di Negara Barat lain, termasuk Amerika. Pada 16 Oktober 2004, George W. Bush menanda-tangani "Global Anti-Semitism Review Act”, yang butir ke-8 nya berbunyi, “Mengurangi jumlah korban Holocoust sebesar 6 juta orang, adalah tindakan Anti-Semit.”
Pada tahun 1985, ada kasus terbunuhnya Alex Odeh, di kantornya Arab Anti-Discrimination Committee (AADC) di California. Juga Josemaria Escriva, pastor anti Yahudi yang dituduh “Anti-Semit” hanya karena pernah menyatakan konpensasi Yahudi dengan cara menjual peristiwa Holocaust .
Penulis buku “The Holocaust Industry" Profesor Norman G. Finklestein juga terpaksa harus menghadapi pengadilan karena pengajar di New York City College ini mengungkap bahwa “industri kebohongan” bernama Holocaust menjadi alat Yahudi untuk memeras Eropa dan Barat. Dari cerita sejarah Holocaust, katanya, lahir ‘indutri politik’ dan menjadi pemeras dolar.
Barat begitu memuja dan menyembah yang namanya freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat) dan freedom speech (kebebasan bicara), sebagai kebebasan yang merupakan hak asasi manusia yang tak boleh di ganggu gugat. Namun di saat yang sama ia membolehkan mencaci-maki agama dan keyakinan –bahkan-- melindunginya dengan payung hukum, namun tidak untuk agama Yahudi.
Peradaban Berakhlak
Kejadian-kejadian ini, secara pelan-pelan akan semakin menunjukkan pada dunia kedok dan wajah asli Barat. Dalam setiap aksi politik nya pun, Barat semakin menampakkan wajahnya. Pertama ketika Bush junior menyebut kata “crusade” (Perang Salib)” tahun 2001, saat akan menyerang Afghanistan, lalu membangun Kamp Penyiksaan di Abu Ghuraib dan Guantanamo, untuk aktivis Islam, dan sekarang, berbagai kasus pelecehan –termasuk pembakaran Qur’an, penghinaan Nabi-- semakin mempertunjukkan dendam lama mereka dari masa Perang Salib.
Di kutub Barat, itulah yang terjadi. Di mana intelektual dan peradabannya yang telah mulai rapuh, mengendor dan lama-lama akan kita saksikan runtuh. Di sisi lain, yang perlu menjadi pertanyaan untuk diri kita adalah di kutub mana kita sekarang akan berdiri? Bagaimanapun, Islam mengajarkan kita tradisi adab dan akhlak tinggi dan mulia.
Intelektualitas tetaplah harus kita kedepankan. Islam mengajak manusia berpikir, bukan menebar stigma dan olokan.
Melalui gerakan intelektual, mari kita gerakan dan kita semai peradaban Islam yang mulia ini dengan mengajak setiap orang –terutama orang-orang Barat—untuk merenung tentang keesaan Allah, kebenaran ayat-ayat Qur’an dan logika Hari Akhir. Pada masanya, apa yang terjadi akhir-akhir ini semakin mendekatkan kita tentang kebenaran “perang peradaban masa depan” antara Islam dan Barat, sebagaimana diprediksi oleh Profesor Samuel P Huntington.
Di saat Barat semakin bingung dengan intelektualitas dan peradaban yang mereka bangun sendiri, justru saat inilah kita harus tampil menawarkan alternatifnya. Setelah itu, saat nya kita menunggu waktu, di mana kelak, orang-orang Eropa dan Amerika mulai berbondong-bondong mencari Islam, sebagaimana fenomena yang pernah kiita saksikan pasca peristiwa 911. Wallahu a’lam.
oleh: Reza Agueng S
No comments:
Post a Comment