PASUKAN PANJI HITAM THE BLACK BANNER

Tuesday, September 13, 2011

Melihat Tanda Kehancuran Amerika Serikat




Oleh: Hadijah
SEPULUH tahun sudah peristiwa serangan 11 September 2001 atas gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat, dikenang orang. Peringatan 9/11 sesungguhnya bukan semata peringatan menangisi korban dan mengencam aksi terorisme, melainkan juga menyaksikan kehancuran Amerika Serikat.

Dari tahun ke tahun cerita serangan 9/11 "American Under Attack" versi Gedung Putih semakin terkuak kebohongannya. Tidak diperlukan intelejensia yang tinggi untuk mengetahui banyaknya kerancuan yang melingkupi peristiwa 9/11, hanya perlu sedikit kecermatan membaca informasi.

Di hari yang sama saat 9/11 terjadi, Presiden AS ketika itu George W. Bush, sedang melakukan kunjungan ke sebuah sekolah dasar di Florida.

Pesawat pertama menghantam tower utara WTC pada pukul 8:46 pagi itu. Tidak sampai dua puluh menit kemudian, pesawat kedua menusuk tower kedua. Bush, yang sedang bercengkrama dengan anak-anak sekolah, dibisiki pembantunya mengenai peristiwa tersebut. Anehnya, tidak ada tindakan apapun yang diambil para pengawal presiden, untuk mengamankan pemimpin mereka. Bush malah terus berada di tempat itu lebih dari setengah jam lamanya, mendengarkan dongeng yang dibacakan siswa sekolah dasar di sana.

Pada saat yang bersamaan, pesawat American Airlines Flight 77 jatuh di Pentagon, simbol pertahanan Amerika Serikat. Tiga puluh menit kemudian sebuah pesawat penumpang lainnya jatuh di wilayah Pennsylvania. Pesawat ke lima yang berhasil digagalkan pembajakannya, kabarnya akan dijatuhkan di Gedung Putih.

Bayangkan, sebuah negara adidaya yang senantiasa merasa menjadi sasaran teror, presiden dan kaki tangannya tidak terlihat panik sama sekali, saat lima pesawat dibajak dan dijatuhkan di tempat-tempat yang menjadi simbol kebanggaan negaranya. Jika memang penguasa negara besar itu tidak tahu sama sekali tentang "skenario serangan" tersebut, maka berarti pertahanan negara adidaya itu ternyata sangat lemah sekali sampai-sampai kejadian di atas bisa terjadi.

Lebih dari 1.500 arsitektur, insinyur dan profesional serta lebih dari 13.000 pendukungnya telah menandatangani petisi yang berisi tuntutan adanya penelitian independen yang sungguh-sungguh oleh Kongres AS atas runtuhnya kompleks gedung WTC. Mereka mengajukan bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa menara kembar kebanggaan Amerika itu tidak akan rontok begitu saja karena ditabrak satu pesawat terbang di masing-masing tower.

Sejarah Amerika Serikat mencatat bahwa negara itu terbentuk dan menjadi besar seiring dengan berbagai temuan dan inovasi teknologi para intelektualnya. Ketika lembaga perwakilan rakyat tidak mengindahkan tuntutan penyelidikan ilmiah atas salah satu ikon kebanggaan AS itu, maka hal tersebut bisa diartikan sebagai pelecehan atas para cerdik cendikia yang ikut membangun negara tersebut.

Sutradara Holywood Michael Moore yang kerap mengkritik pemerintah Amerika lewat film-film dokumenter box office-nya, saat menerima penghargaan Academy Award 2003 berkata, "We live in the time where we have fictitious election results that elects a fictitious president. We live in a time where we have a man sending us to war for fictitious reasons ... we are against this war, Mr. Bush. Shame on you. Mr. Bush, shame on you." (Kita hidup pada masa di mana kita mendapati hasil pemilu fiktif, yang memilih presiden fiktif. Kita hidup pada masa di mana seorang pria mengirim kita berperang demi alasan yang fiktif...kami menentang perang ini. Anda memalukan, Tuan Bush, Anda memalukan.)

Tapi, bagi Bush yang merupakan seorang pengusaha asal Texas itu, perang tidak memalukan sama sekali. Anggap saja kematian atau gangguan jiwa para prajurit akibat perang sebagai "modal usaha."

Bermodalkan 5 pesawat, dua menara kembar, kurang dari 3.000 nyawa orang tak berdosa di WTC, Amerika Serikat mendapatkan dua medan perang di Afghanistan dan Iraq. Mereka tidak hanya bebas mengatur pemerintah negara setempat, tapi juga menguasai sumber-sumber daya alamnya. Selain itu, Amerika Serikat bebas menembaki anak-anak, perempuan dan orang jompo dengan alasan mencari "teroris".
Dengan alasan memerangi teror, Amerika menghancurkan Afghanistan dan Iraq. Bahkan ketika Afghanistan sudah hancur-lebur, Amerika tak juga mendapati Usamah, sekalipun sarung atau sandalnya. Naifnya, sampai Iraq hancur dan khasanah Islam juga banyak yang hilang,  alasan mencari senjata pemusnah massal (Weapons of mass destruction / WMD) yang sering digembar-gemborkan itu juga tak pernah ditemukan.
Kini, dengan alasan yang sama, ia akan meng-Iraq-kan Libya, yang dikenal memiliki cadangan kandungan minyak cukup besar setelah Saudi.
Pengorbanan semacam itu sangat lazim, terlebih Amerika Serikat pernah melakukan hal yang serupa sebelumnya.

Di awal tahun 1960-an, para pemimpin teras militer AS dilaporkan pernah membuat rencana untuk membunuh orang-orang tak bersalah dan melancarkan aksi terorisme di kota-kota di Amerika Serikat guna mencari dukungan perang melawan Kuba. Begitu kabar yang pernah dilansir ABC News Mei 2001.

Operasi yang dinamakan Operation Northwoods itu merencanakan pembunuhan atas para imigran Kuba, menenggelamkan kapal-kapal yang mengangkut pengungsi kuba di laut lepas, meledakkan kapal-kapal Amerika, membajak pesawat-pesawat dan bahkan melancarkan aksi terorisme di berbagai kota di Amerika.
Krisis Paman Sam
Salah satu indikator untuk menilai kemakmuran sebuah negara adalah dengan melihat keadaan terkait kesejahteraan rakyatnya, seperti bidang pendidikan, kesehatan pangan dan papan.
Jika kita kumpulkan berita-berita yang berceceran tentang kehidupan rakyat Amerika Serikat dalam waktu beberapa tahun terakhir pasca 9/11, maka dengan jelas kita akan mendapati berita yang tidak jauh berbeda dengan beberapa negara berkembang atau bahkan terbelakang.

Kita mendengar tentang jutaan pengangguran di Amerika Serikat, tentang rakyat yang mengantri kupon makanan, rakyat yang kehilangan rumahnya, rakyat yang terbelit bunga hutang, orang sakit yang tidak bisa membayar biaya perawatan, dan juga sekolah-sekolah yang ditutup.

Melihat kondisi Amerika Serikat yang semakin memburuk, pada Maret 2009 Perdana Menteri China Wen Jiabao bahkan kepada wartawan pernah mengutarakan kekhawatirannya.

"Kami telah memberikan pinjaman yang sangat besar kepada Amerika Serikat. Tentu saja kami khawatir atas kemanan aset-aset kami. Jujur, saya sedikit khawatir," kata wen ketika itu. "Saya ingin menyerukan kepada Amerika Serikat untuk menghormati janji-janjinya, tetaplah menjadi negara yang kredibel dan memastikan keamanan aset-aset China," kata Wen, perdana menteri dari satu-satunya negara pemegang surat hutang AS terbesar di dunia.

Pendidikan, kata orang bijak, adalah modal utama kemajuan dan kebesaran sebuah negara. Kenyataannya pada masa sekarang ini, sepuluh tahun setelah peristiwa 9/11, kita melihat sekolah-sekolah dasar dan menengah di banyak negara bagian Amerika Serikat ditutup. Kita mendengar kabar bahwa guru-guru di Amerika bahkan harus membeli kapur tulisnya sendiri.
Boleh jadi, kehancuran akibat kejahatan dan dosa-dosa besar Amerika terhadap banyak negara dan berbagai bangsa akan berakhir pada titik kulminasi. Masalah, kapan waktu itu akan datang, hanya Alloh SWT yang Maha tahu.*

Penulis adalah pemerhati Dunia Islam

No comments:

Post a Comment

Popular Posts