Yahudi sebagai sebuah bangsa digdaya di akhir zaman seperti ini, memiliki sebuah kunci “keberhasilan” dalam menjalankan misinya. Rumus mereka terletak dalam hal pendidikan. Yahudi sadar betul bahwa penanaman nilai-niai Yahudi adalah kunci dalam mengokohkan indentitas diri mereka. Ya sebuah bangsa kecil yang menjadi besar dan memiliki arti penting dalam menguasai dunia saat ini.
Di tengah sekularisasi dunia yang diciptakan mereka, Yahudi justru tampil dalam semangat militanisme yang terinternalisasi baik dalam kehidupan mereka. Bagi Yahudi, sekularisasi hanya berlaku bagi dunia Islam, namun bagi mereka tidak. Bahwa Al Qur’an hanya menjadi kitab suci berdebu bagi orang Islam, memang iya. Akan tapi sebaliknya bagi mereka, taurat adalah segala-galanya rujukan dalam menjalankan ritme kehidupan.
Eksplorasi ini bukan dalam tujuan untuk melemahkan semangat kita sebagai umat muslim, -kita adalah umat mulia yang diberikan Allah kenikmatan berupa dienul Islam dalam jiwa kita,- tapi ini adalah ajang muhasabah, intropeksi, dan juga antisipasi bahwa pada akhirnya kita akan berbenturan dengan mereka, ya dalam arti yang sebenarnya: Al Masihuddajal di pihak kaum kufar dan Al Mahdi di barisan kaum muslimin.
Menurut Rabbi Lev Baesh, Direktur pada The Resource Center for Jewish Clergy of InterfaithFamily.com, Taurat adalah lebih dari sebuah kitab suci. Ia menjadi pengacu dalam seluruh pembelajaran moral dan etika bagi orang tua dalam mendidikan anak seorang anak Yahudi.