Diriwayatkan oleh Abu Dzar Rasulullah Saw bersabda :“Sungguh aku lebih tahu siapa yang masuk syurga paling akhir, dan siapa ahli neraka yang terakhir keluar dari neraka: Yaitu seseorang yang pada hari kiamat besok didatangi, dan dikatakan: “Beberkan padanya dosanya paling kecil dan hapuslah dosa-dosa besar darinya. Kemudian dosa-dosa kecilnya dibeberkan, kemudian dikatakan:“Anda melakukan perbuatan pada hari ini dan itu, demikian dan demikian, dan anda melakukan dosa itu pada hari ini dan itu, demikian dan demikian?”Orang tersebut menjawab, “Ya…” Sungguh ia tak bisa memungkiri. Dan Allah Swt sangat kasihan atas banyaknya dosa besar yang dilakukan, manakala dosa-dosa itu dibeberkan padanya. Maka dikatakan padanya, “Maka sesungguh bagi anda adalah setiap tempat keburukan diganti dengan tempat kebaikan.”Orang itu bermunajat, “Oh Tuhan, aku sungguh telah melakukan berbagai perbuatan sampai aku tak tahu di sana..!”Perawi hadits ini berkata, “Sungguh aku melihat Rasulullah Saw, (ketika itu) tertawa, hingga tampak gigi-gigi gerahamnya.”Kemudian beliau membaca ayat, “Mereka itulah yang Allah gantikan keburukannya (dosa-dosa) dengan kebaikan-kebaikan.”
Rasa kasihan di atas, adalah sesuatu yang merupakan rahasia yaqin kepada Allah Ta’ala, sekaligus merupakan kondisi ruhani dari kekuasanNya yang dilimpahkan pada ahli ma’rifat. Dalam hadits mulia ini ada perkara agung yang menjelaskan tentang kemurahan Ilahi lebih dari ungkapan yang hanya dikenal kaum ‘arifun, namun membuat terpeleset mereka yang alpa, dan membuat tambah takutnya orang-orang yang berselaras dengan Allah Ta’ala.
Saudaraku yang mulia! Siapa pun yang ingin bicara dengan lisan ahli ma’rifat, hendaknya menjaga adab ucapan mereka, karena wilayah ma’rifat itu tidak bisa tersingkap detilnya kecuali ahlinya. Jangan pula membebani murid dengan ucapan di luar batas kemampuannya, juga jangan mencegah untuk mengungkapkannya manakala memang orang itu berkompeten dengan kema’rifatan, sehingga ucapannya terungkap bersama ahli ma’rifat, melalui lisah ahli ma’rifat pula. Jika dengan kalangan kaum Sufi, hendaknya dengan ungkapan sufistik. Jika dengan para pecinta, hendaknya dengan bahasa cinta. Jika dengan kalangan ahli zuhud, hendaknya dengan wacana mereka. Setiap kalangan, ungkapan terapresiasi sesuai dengan martabat dan derajatnya, menurut kadar akal mereka.
Allah Swt, menjadikan kaum ‘arifin dengan bahasa-bahasa seperti itu. Memang semua itu akan lebur manakala limpahan Kuasa Allah Ta’ala yang turun, maka tidak seyogyanya mengucapkan ungkapan yang tidak selaras dengan kemampuan pendengar, yang bisa menimbulkan fitnah. Karena mayoritas publik itu bodoh (dalam konteks kema’rifatan) karena mereka lebih banyak terpaku pada pengetahuan lahiriyah, dan meninggalkan pengetahuan batin, sehingga mereka tidak mampu menerima beban pandangan ungkapan kaum ‘arifin yang lembut sekali.Kalam kaum a’rifun itu sangat teosofik (Lahutiyah), dan isyaratnya sangat suci, wacananya begitu Azaly. Bagi para pendengar wacana mereka, sudah seharusnya terpancar lampu-lampu Ilahi dan cahaya keabadian. Disebutkan, “Lisan perilaku ruhani itu lebih fasih ketimbang bahasa lisan. Siapa yang rela dengan perilaku ruhani, bukan rela pada Sang Penguasa Kondisi Ruhani, maka orang tersebut terhinakan dari kondisi ruhani itu sendiri dan ia terhijab dari Yang Maha agung.”Manakah yang lebih dahsyat ketimbang kedahsyatan kaum ‘arifun? Jika ia bicara tentang kondisi ruhaninya, malah ia hancur. Jika ia diam, malah terbakar. Bila hatinya mendapatkan warid Hadrah Ilahi, lisannya malah kelu. Dan jika hatinya sirna dari Hadhrah malah banyak bicaranya.
Dzun Nuun al-Mishry r.a berkata, “Saya tak pernah melihat orang bicara dari kalangan sufi, yang bicara dengan hati yang alpa dari mengingat Allah, melainkan malah bicara seperti itu menambah kekerasan hati.” Sebagian mengatakan, “Diamnya sang ‘arif merupakan hikmah, dan biacaranya adalah ni’mat.”
Dikatakan, “Tidak dibenarkan dalam pembenaran kema’rifatan bagi orang yang bicara mengenai kema’rifatan pada generasi akhirat. Nah, bagaimana bicara ma’rifat dengan generasi dunia?” Aku tak pernah bicara dengan satu pun orang, kecuali aku terlebih dulu berdoa kepada Allah Ta’ala, kemudian aku baru bicara.Siapa yang yang tidak merasakan manisnya ma’rifat, dan melihat anugerah, serta mensyukuri ni’mat, kenikmatan qurbah, ketakutan pisah, kemesraan bergabung denganNya, keikhlasan beribadah, kebahagiaan hidayah, maka ia tidak boleh bicara mengenai dengan ungkapan ahli ma’rifat. Jika ia bicara, kaum ma’rifat tidak melebihi batas kemampuan audiens, tidak pernah menghalangi kalangan yang sangat membutuhkan, dan tidak menelantarkan kaum yang alpa.
Suatu ketika seseorang mendatangi sang ‘arif, sembari memohon, “Bicaralah padaku…!”Sang ‘arif menjawab, “Orang sepertiku ketika bersamamu, seperti seseorang yang jatuh dalam kotoran, lalu menuju ke tukang parfum, dan mengatakan, “Manakah aroma yang bagus?”Tukang parfum menjawab, “Pergilah kalian, beli alat pencuci (semacam sabun dsb. Pent.) , bersihkan dirimu dan pakaianmu, lalu kemarilah untuk berparfum…”Begitu juga anda, ketika anda berjibrat najis-najis dosa dalam dirimu, maka ambillah pencuci remuk redammu dan Lumpur penyesalanmu, dan ambillah air taubat dan inabat, lalu sucikan badanmu dengan tempat atau kolam rasa takut dan harapan dari najis dosa dan kealpaan. Lalu pergilah ke kamar mandi zuhud dan ketaqwaan, bersihkan dirimu dengan air kebeningan dan kejujuran, lalu datanglah kepadaku, nanti aku beri wewangian dengan parfum ma’rifatku.!”Sebagaian orang bertanya pada sang arif. “Aku tidak mengerti ucapanmu…!”“Ucapan orang yang bisu tidak bisa diketahui oleh ibunya!” jawab sang arif.
Diantara ucapan Nabi Isa as, “Hai pemilik ucapan hikmah, jadilah dirimu seperti dokter yang menasehati, yang memberikan obat menurut manfaatnya, dan mencegah penyakitnya manakala penyakit itu mengancamnya.”Jangan sampai kita mengurai hikmah bukan pada ahlinya, hingga anda malah bodoh, dan jangan menghalangi hikmah dari ahlinya, anda malah dzalim. Jangan membuka rahasiamu pada setiap orang, malah anda jadi ternoda.Dzun Nuun r.a, mengatakan, “Aku pernah melihat orang hitam sedang tawaf di Baitullah, orang itu mengatakan, “Engkau…Engkau…Engkau…”Tak ada kata lain selain kata itu saja.“Hai hamba Allah, apa yang anda maksud dengan kata-katamu itu?”Orang hitam itu kemudian membaca syair:Diantara para pecinta ada rahasia Tak ternodakan oleh tulisan dan penaHingga harus mengisahkannyaApi yang berbaur dengan kemesraanYang dileburi cahaya hingga terungkapkan pada yang lainRinduku pada-Nya, dan aku tak pernah meminta, maka sebagai gantinya inilah rahasia-rahasia terpendam engkau munajat kepada-Nya .
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
http://pasukanpanjihitamtheblackbanner.blogspot.com/
Rasa kasihan di atas, adalah sesuatu yang merupakan rahasia yaqin kepada Allah Ta’ala, sekaligus merupakan kondisi ruhani dari kekuasanNya yang dilimpahkan pada ahli ma’rifat. Dalam hadits mulia ini ada perkara agung yang menjelaskan tentang kemurahan Ilahi lebih dari ungkapan yang hanya dikenal kaum ‘arifun, namun membuat terpeleset mereka yang alpa, dan membuat tambah takutnya orang-orang yang berselaras dengan Allah Ta’ala.
Saudaraku yang mulia! Siapa pun yang ingin bicara dengan lisan ahli ma’rifat, hendaknya menjaga adab ucapan mereka, karena wilayah ma’rifat itu tidak bisa tersingkap detilnya kecuali ahlinya. Jangan pula membebani murid dengan ucapan di luar batas kemampuannya, juga jangan mencegah untuk mengungkapkannya manakala memang orang itu berkompeten dengan kema’rifatan, sehingga ucapannya terungkap bersama ahli ma’rifat, melalui lisah ahli ma’rifat pula. Jika dengan kalangan kaum Sufi, hendaknya dengan ungkapan sufistik. Jika dengan para pecinta, hendaknya dengan bahasa cinta. Jika dengan kalangan ahli zuhud, hendaknya dengan wacana mereka. Setiap kalangan, ungkapan terapresiasi sesuai dengan martabat dan derajatnya, menurut kadar akal mereka.
Allah Swt, menjadikan kaum ‘arifin dengan bahasa-bahasa seperti itu. Memang semua itu akan lebur manakala limpahan Kuasa Allah Ta’ala yang turun, maka tidak seyogyanya mengucapkan ungkapan yang tidak selaras dengan kemampuan pendengar, yang bisa menimbulkan fitnah. Karena mayoritas publik itu bodoh (dalam konteks kema’rifatan) karena mereka lebih banyak terpaku pada pengetahuan lahiriyah, dan meninggalkan pengetahuan batin, sehingga mereka tidak mampu menerima beban pandangan ungkapan kaum ‘arifin yang lembut sekali.Kalam kaum a’rifun itu sangat teosofik (Lahutiyah), dan isyaratnya sangat suci, wacananya begitu Azaly. Bagi para pendengar wacana mereka, sudah seharusnya terpancar lampu-lampu Ilahi dan cahaya keabadian. Disebutkan, “Lisan perilaku ruhani itu lebih fasih ketimbang bahasa lisan. Siapa yang rela dengan perilaku ruhani, bukan rela pada Sang Penguasa Kondisi Ruhani, maka orang tersebut terhinakan dari kondisi ruhani itu sendiri dan ia terhijab dari Yang Maha agung.”Manakah yang lebih dahsyat ketimbang kedahsyatan kaum ‘arifun? Jika ia bicara tentang kondisi ruhaninya, malah ia hancur. Jika ia diam, malah terbakar. Bila hatinya mendapatkan warid Hadrah Ilahi, lisannya malah kelu. Dan jika hatinya sirna dari Hadhrah malah banyak bicaranya.
Dzun Nuun al-Mishry r.a berkata, “Saya tak pernah melihat orang bicara dari kalangan sufi, yang bicara dengan hati yang alpa dari mengingat Allah, melainkan malah bicara seperti itu menambah kekerasan hati.” Sebagian mengatakan, “Diamnya sang ‘arif merupakan hikmah, dan biacaranya adalah ni’mat.”
Dikatakan, “Tidak dibenarkan dalam pembenaran kema’rifatan bagi orang yang bicara mengenai kema’rifatan pada generasi akhirat. Nah, bagaimana bicara ma’rifat dengan generasi dunia?” Aku tak pernah bicara dengan satu pun orang, kecuali aku terlebih dulu berdoa kepada Allah Ta’ala, kemudian aku baru bicara.Siapa yang yang tidak merasakan manisnya ma’rifat, dan melihat anugerah, serta mensyukuri ni’mat, kenikmatan qurbah, ketakutan pisah, kemesraan bergabung denganNya, keikhlasan beribadah, kebahagiaan hidayah, maka ia tidak boleh bicara mengenai dengan ungkapan ahli ma’rifat. Jika ia bicara, kaum ma’rifat tidak melebihi batas kemampuan audiens, tidak pernah menghalangi kalangan yang sangat membutuhkan, dan tidak menelantarkan kaum yang alpa.
Suatu ketika seseorang mendatangi sang ‘arif, sembari memohon, “Bicaralah padaku…!”Sang ‘arif menjawab, “Orang sepertiku ketika bersamamu, seperti seseorang yang jatuh dalam kotoran, lalu menuju ke tukang parfum, dan mengatakan, “Manakah aroma yang bagus?”Tukang parfum menjawab, “Pergilah kalian, beli alat pencuci (semacam sabun dsb. Pent.) , bersihkan dirimu dan pakaianmu, lalu kemarilah untuk berparfum…”Begitu juga anda, ketika anda berjibrat najis-najis dosa dalam dirimu, maka ambillah pencuci remuk redammu dan Lumpur penyesalanmu, dan ambillah air taubat dan inabat, lalu sucikan badanmu dengan tempat atau kolam rasa takut dan harapan dari najis dosa dan kealpaan. Lalu pergilah ke kamar mandi zuhud dan ketaqwaan, bersihkan dirimu dengan air kebeningan dan kejujuran, lalu datanglah kepadaku, nanti aku beri wewangian dengan parfum ma’rifatku.!”Sebagaian orang bertanya pada sang arif. “Aku tidak mengerti ucapanmu…!”“Ucapan orang yang bisu tidak bisa diketahui oleh ibunya!” jawab sang arif.
Diantara ucapan Nabi Isa as, “Hai pemilik ucapan hikmah, jadilah dirimu seperti dokter yang menasehati, yang memberikan obat menurut manfaatnya, dan mencegah penyakitnya manakala penyakit itu mengancamnya.”Jangan sampai kita mengurai hikmah bukan pada ahlinya, hingga anda malah bodoh, dan jangan menghalangi hikmah dari ahlinya, anda malah dzalim. Jangan membuka rahasiamu pada setiap orang, malah anda jadi ternoda.Dzun Nuun r.a, mengatakan, “Aku pernah melihat orang hitam sedang tawaf di Baitullah, orang itu mengatakan, “Engkau…Engkau…Engkau…”Tak ada kata lain selain kata itu saja.“Hai hamba Allah, apa yang anda maksud dengan kata-katamu itu?”Orang hitam itu kemudian membaca syair:Diantara para pecinta ada rahasia Tak ternodakan oleh tulisan dan penaHingga harus mengisahkannyaApi yang berbaur dengan kemesraanYang dileburi cahaya hingga terungkapkan pada yang lainRinduku pada-Nya, dan aku tak pernah meminta, maka sebagai gantinya inilah rahasia-rahasia terpendam engkau munajat kepada-Nya .
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu shalat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
No comments:
Post a Comment