Bumi Syam – Bila semua sepakat bahwa Palestina dan
Muslim etnis Rohingya sedang dizalimi dan harus dibantu, tidak demikian
halnya dengan kasus Suriah. Meski kekejaman konflik yang sudah
berlangsung lebih dari dua tahun gempar diberitakan media (terutama on-line), masih saja ada belum mau mengakui apa yang terjadi di sana sebagai sebuah tragedi kemanusiaan.
Dalihnya, itu masalah politik, di mana rakyat yang tidak puas dan memberontak kepada penguasanya yang kemudian disambut aksi represif rezim penguasa. Sekali lagi, ini masalah politik, demikian kesimpulan mereka.
Padahal, semua kezaliman yang menimpa umat Islam dari dulu hingga kini motifnya selalu politik. Yang pasti, bila melihat dari kacamata agama Islam itu sendiri, perintah membantu, menolong dan melindungi sesama Muslim itu tidak harus dipilah dulu motif-motif per kasus.
Unshur akhaka zaliman aw mazluman, demikian perintah Nabi Muhammad SAW—tolonglah saudaramu, baik yang pelaku tindak zalim maupun yang korban yang terzalimi. Jasad dikubur hidup-hidup, bagian tubuh disayat-sayat sebelum dibunuh, penyembelihan kolosal—sebagaimana terjadi belum lama ini di daerah Tartus—serta tragedi kemanusiaan lainya yang banyak dipertontonkan lewat media online sudah menjadi bukti yang cukup bahwa: rakyat Suriah terzalimi. Namun mengapa masih ada simpang siur pemahaman dan kesimpulan?
Pertama, banyak kaum Muslimin di Indonesia yang tidak mengenal ideologi rezim yang penguasa dan rakyat Suriah pada umumnya. Yang dipahami, Suriah itu negeri Islam. Basyar Asad itu seorang Muslim, rakyatnya pun Muslim. Yang perlu dikritisi dari pemahaman di atas adalah klaim bahwa Basyar Asad Muslim. Dia, dan juga rezim yang berkuasa di Suriah berideologikan Nusairiyah.
Secara ringkas, Nushairiyah adalah kelompok Syiah ekstrem. Muncul dari berbagai keyakinan dan ritual yang bersumber dari agama Majusi, Yahudi, Persia, Kristen, Islam, budha dan filsafat kuno yang tersebar pada saat itu. Didirikan pertengahan abad ke-3 di bawah pim pinan Muhammad bin Nashir An-Numairi. Di mata mereka, Ali bin Abi Thalib adalah tuhan, yang telah memaafkan mereka untuk meninggalkan shalat. Menghalalkan khamer, homoseks dan nikah sesama mahram. Begitu parah, sampai-sampai Ibnu Taimiyah menganggap Nushairiyah lebih sesat dan berbahaya ketimbang musuh Islam yang banyak kita hafal: Yahudi dan Nasrani.
Kedua, peta semakin pelik dengan peran AS dan sekutunya. Amerika, di mata umat Islam sedunia memang dianggap sebagai biang trouble maker. Kehadirannya di dunia Islam—seperti Afghanistan dan Iraq—dikenal dengan peran pengobok-obok suasana, pemecah-belah bangsa dan suka ikut campur urusan orang lain demi kepentingannya sendiri. Apalagi, motif campur-tangan AS di Suriah untuk melindungi kepentingan Israel. Bagaimana kronologi analisisnya sehingga “tiba-tiba” AS menjadi tertuduh dalam konflik Suriah?
Konflik Suriah dipicu oleh “wabah” revolusi yang menjangkiti dunia Arab, yang dikenal dengan Arab Spring. Dimulai dari Tunisia, Mesir lalu Libya, kini giliran Suriah. Semua kejadian tersebut, di sebagian kalangan, dicurigai sebagai rekayasa Amerika untuk semakin memperkokoh pengaruhnya di tanah Arab. Namun, posisi Suriah lebih istimewa. Bashar Asad diincar karena menjadi sekutu utama Iran dan Hizbullah Lebanon dalam melawan Israel. Apalagi, Suriah memiliki perbatasan langsung dengan negara Zionis tersebut. Atas asumsi inilah kemudian Suriah masuk target garap berikutnya. Dan, beberapa Negara Arab seperti Saudi dan Qatar setia di belakang Amerika.
Analisis di atas tidak sepenuhnya keliru. Baik oleh Iran atau Amerika, Suriah kini menjadi lahan bancakan kepentingan kekuatan-kekuatan gajah tersebut. Namun, ulasan di atas menjadi tidak komprehensif bila hanya menampilkan dua kekuatan, dengan melupakan unsur lain yang kini juga “bermain” di Suriah, yaitu kalangan jihadis. Mungkin karena tidak merepresentasikan kepentingan negara tertentu, peran mereka dianggap sebagai bumbu pelengkap atau aksi reaksioner sporadis yang muncul secara tiba-tiba. Padahal, sudah sejak lama mereka mengincar Suriah, dengan beberapa alasan. Di antaranya:
– Suriah adalah negeri dengan mayoritas Sunni, namun diperintah oleh penguasa Nushairiyah. Selain berbeda ideologi, rezim Asad yang berkuasa—dari Hafizh hingga Basyar—adalah tipe diktator yang memerintah negeri dengan tangan besi. Berbedaan agama ditambah akumulasi kezaliman yang diterima kaum Sunni adalah bahan bakar untuk membuat Suriah bergolak.
– Prahara politik yang terjadi membuat Suriah tidak lagi aman. Apalagi, dalam kasus ini rasa tidak aman justru timbul dari penguasa. Di saat seperti ini, rakyat butuh pembelaan dan rasa aman. Sebuah momen yang tepat bagi jihadis—baik dalam maupun luar Suriah—untuk masuk dan memberikan apa yang dibutuhkan rakyat. Dalam perhitungan jihadis, jika mereka mampu memberikan rasa aman, rakyat akan merelakan wilayahnya “diduduki” jihadis. Saat itulah, mereka semakin mendapatkan home ground yang lebih luas ketimbang “sekadar” Iraq dan Afghanistan.
– Nah, Suriah memang layak diincar menjadi “pangkalan” jihadis yang meyakini bahwa semua problematika yang melanda umat Islam bersumber dari Israel, dan satu-satunya solusi tuntasnya adalah menghapus negeri Zionis itu dari peta dunia. Selain SDM Sunni yang mendominasi, Suriah memiliki nilai sangat strategis dari sisi geografis. Berbatasan langsung dengan Israel, memiliki bibir pantai yang luas, sebagian daerahnya berkontur pegunungan—wilayah yang cocok untuk berlindung dari serangan udara. Selain itu, alam Suriah yang subur menjamin ketersediaan logistic tetap stabil meski diembargo dari luar.
– Geografis Suriah juga sangat strategis dalam tinjauan akidah. Ia termasuk daerah Syam, yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai benteng terakhir umat Islam di akhir zaman. Dari situlah akan muncul pasukan pembela Islam. Dari Syam pula, sabda Nabi SAW pada kesempatan lain, akan muncul Imam Mahdi. Selain itu, dalam beberapa riwayat beliau SAW menyebut-nyebut keistimewaan negeri Syam sekaligus mendoakannya. Mungkinkah Suriah menjadi cikal bakal Khilafah Islamiyah?
– Sangat mungkin. Bila penyebutan Nabi SAW syarat pemimpin berasal dari Quraisy dimakna pemerintahan Islam yang tidak jauh dari wilayah Hijaz, jarak Arab Saudi dengan Suriah hanya dipisah oleh satau negeri saja; Yordania atau Iraq. Tidak jauh. Dan, bila kembali kepada hadits Nabi SAW, selain Suriah, Yaman juga menjadi basis pertahanan tentara Islam di akhir zaman. Garis lurus Suriah-Yaman akan melewati Tanah Suci, Al-Haramain. Karena itu, di mata kalangan jihadis kedua negera itu (Suriah dan Yaman) disebut-sebut sebagai : Teori Dua Lengan.
Membaca konflik Suriah dari kacamata jihadis akan membuat kita mentertawakan teori yang menyederhakanan bahwa pemain di Suriah hanya Iran dan Amerika beserta sekutu mereka. Ini diakibatkan oleh pemahaman teori konspirasi yang berkomplikasi dengan sindrom inferior complex. Merasa sebagai umat yang termarjinal, di mana-mana hanya menjadi bola, ditendang ke sana ke mari sekehendak pemain. Tak pernah memiliki inisiatif sendiri dan selalu berperan menjadi korban. Seolah-olah dunia dan seisinya ini hanya dikendalikan oleh manusia, bukan oleh Rabbul ‘Alamin.
Mari sambut hari esok yang penuh harapan. Harapan bahwa Allah akan menolong siapapun yang menolong agama-Nya. Harapan yang muncul dari sabda as-shadiq al-mashduq Muhammad SAW tentang bandul peradaban yang bergeser kembali ke pangkuan kaum Muslimin. Dan, saatnya kita ucapkan selamat tinggal kepada teori usang—sebagaimana pernah penulis hadapi saat hearing krisis Suriah dengan beberapa ulama di Solo termasuk dari kalangan Syiah: “Menolong rakyat Suriah berarti membantu kepentingan Amerika dan Israel!”
Abu Yahya, Jurnalis An-Najah Media Group dan kontributor bumisyam.com; pernah bertugas misi kemanusiaan di Suriah.
Red : Abdul Aziz Al Makassary
Dalihnya, itu masalah politik, di mana rakyat yang tidak puas dan memberontak kepada penguasanya yang kemudian disambut aksi represif rezim penguasa. Sekali lagi, ini masalah politik, demikian kesimpulan mereka.
Padahal, semua kezaliman yang menimpa umat Islam dari dulu hingga kini motifnya selalu politik. Yang pasti, bila melihat dari kacamata agama Islam itu sendiri, perintah membantu, menolong dan melindungi sesama Muslim itu tidak harus dipilah dulu motif-motif per kasus.
Unshur akhaka zaliman aw mazluman, demikian perintah Nabi Muhammad SAW—tolonglah saudaramu, baik yang pelaku tindak zalim maupun yang korban yang terzalimi. Jasad dikubur hidup-hidup, bagian tubuh disayat-sayat sebelum dibunuh, penyembelihan kolosal—sebagaimana terjadi belum lama ini di daerah Tartus—serta tragedi kemanusiaan lainya yang banyak dipertontonkan lewat media online sudah menjadi bukti yang cukup bahwa: rakyat Suriah terzalimi. Namun mengapa masih ada simpang siur pemahaman dan kesimpulan?
Pertama, banyak kaum Muslimin di Indonesia yang tidak mengenal ideologi rezim yang penguasa dan rakyat Suriah pada umumnya. Yang dipahami, Suriah itu negeri Islam. Basyar Asad itu seorang Muslim, rakyatnya pun Muslim. Yang perlu dikritisi dari pemahaman di atas adalah klaim bahwa Basyar Asad Muslim. Dia, dan juga rezim yang berkuasa di Suriah berideologikan Nusairiyah.
Secara ringkas, Nushairiyah adalah kelompok Syiah ekstrem. Muncul dari berbagai keyakinan dan ritual yang bersumber dari agama Majusi, Yahudi, Persia, Kristen, Islam, budha dan filsafat kuno yang tersebar pada saat itu. Didirikan pertengahan abad ke-3 di bawah pim pinan Muhammad bin Nashir An-Numairi. Di mata mereka, Ali bin Abi Thalib adalah tuhan, yang telah memaafkan mereka untuk meninggalkan shalat. Menghalalkan khamer, homoseks dan nikah sesama mahram. Begitu parah, sampai-sampai Ibnu Taimiyah menganggap Nushairiyah lebih sesat dan berbahaya ketimbang musuh Islam yang banyak kita hafal: Yahudi dan Nasrani.
Kedua, peta semakin pelik dengan peran AS dan sekutunya. Amerika, di mata umat Islam sedunia memang dianggap sebagai biang trouble maker. Kehadirannya di dunia Islam—seperti Afghanistan dan Iraq—dikenal dengan peran pengobok-obok suasana, pemecah-belah bangsa dan suka ikut campur urusan orang lain demi kepentingannya sendiri. Apalagi, motif campur-tangan AS di Suriah untuk melindungi kepentingan Israel. Bagaimana kronologi analisisnya sehingga “tiba-tiba” AS menjadi tertuduh dalam konflik Suriah?
Konflik Suriah dipicu oleh “wabah” revolusi yang menjangkiti dunia Arab, yang dikenal dengan Arab Spring. Dimulai dari Tunisia, Mesir lalu Libya, kini giliran Suriah. Semua kejadian tersebut, di sebagian kalangan, dicurigai sebagai rekayasa Amerika untuk semakin memperkokoh pengaruhnya di tanah Arab. Namun, posisi Suriah lebih istimewa. Bashar Asad diincar karena menjadi sekutu utama Iran dan Hizbullah Lebanon dalam melawan Israel. Apalagi, Suriah memiliki perbatasan langsung dengan negara Zionis tersebut. Atas asumsi inilah kemudian Suriah masuk target garap berikutnya. Dan, beberapa Negara Arab seperti Saudi dan Qatar setia di belakang Amerika.
Analisis di atas tidak sepenuhnya keliru. Baik oleh Iran atau Amerika, Suriah kini menjadi lahan bancakan kepentingan kekuatan-kekuatan gajah tersebut. Namun, ulasan di atas menjadi tidak komprehensif bila hanya menampilkan dua kekuatan, dengan melupakan unsur lain yang kini juga “bermain” di Suriah, yaitu kalangan jihadis. Mungkin karena tidak merepresentasikan kepentingan negara tertentu, peran mereka dianggap sebagai bumbu pelengkap atau aksi reaksioner sporadis yang muncul secara tiba-tiba. Padahal, sudah sejak lama mereka mengincar Suriah, dengan beberapa alasan. Di antaranya:
– Suriah adalah negeri dengan mayoritas Sunni, namun diperintah oleh penguasa Nushairiyah. Selain berbeda ideologi, rezim Asad yang berkuasa—dari Hafizh hingga Basyar—adalah tipe diktator yang memerintah negeri dengan tangan besi. Berbedaan agama ditambah akumulasi kezaliman yang diterima kaum Sunni adalah bahan bakar untuk membuat Suriah bergolak.
– Prahara politik yang terjadi membuat Suriah tidak lagi aman. Apalagi, dalam kasus ini rasa tidak aman justru timbul dari penguasa. Di saat seperti ini, rakyat butuh pembelaan dan rasa aman. Sebuah momen yang tepat bagi jihadis—baik dalam maupun luar Suriah—untuk masuk dan memberikan apa yang dibutuhkan rakyat. Dalam perhitungan jihadis, jika mereka mampu memberikan rasa aman, rakyat akan merelakan wilayahnya “diduduki” jihadis. Saat itulah, mereka semakin mendapatkan home ground yang lebih luas ketimbang “sekadar” Iraq dan Afghanistan.
– Nah, Suriah memang layak diincar menjadi “pangkalan” jihadis yang meyakini bahwa semua problematika yang melanda umat Islam bersumber dari Israel, dan satu-satunya solusi tuntasnya adalah menghapus negeri Zionis itu dari peta dunia. Selain SDM Sunni yang mendominasi, Suriah memiliki nilai sangat strategis dari sisi geografis. Berbatasan langsung dengan Israel, memiliki bibir pantai yang luas, sebagian daerahnya berkontur pegunungan—wilayah yang cocok untuk berlindung dari serangan udara. Selain itu, alam Suriah yang subur menjamin ketersediaan logistic tetap stabil meski diembargo dari luar.
– Geografis Suriah juga sangat strategis dalam tinjauan akidah. Ia termasuk daerah Syam, yang oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai benteng terakhir umat Islam di akhir zaman. Dari situlah akan muncul pasukan pembela Islam. Dari Syam pula, sabda Nabi SAW pada kesempatan lain, akan muncul Imam Mahdi. Selain itu, dalam beberapa riwayat beliau SAW menyebut-nyebut keistimewaan negeri Syam sekaligus mendoakannya. Mungkinkah Suriah menjadi cikal bakal Khilafah Islamiyah?
– Sangat mungkin. Bila penyebutan Nabi SAW syarat pemimpin berasal dari Quraisy dimakna pemerintahan Islam yang tidak jauh dari wilayah Hijaz, jarak Arab Saudi dengan Suriah hanya dipisah oleh satau negeri saja; Yordania atau Iraq. Tidak jauh. Dan, bila kembali kepada hadits Nabi SAW, selain Suriah, Yaman juga menjadi basis pertahanan tentara Islam di akhir zaman. Garis lurus Suriah-Yaman akan melewati Tanah Suci, Al-Haramain. Karena itu, di mata kalangan jihadis kedua negera itu (Suriah dan Yaman) disebut-sebut sebagai : Teori Dua Lengan.
Membaca konflik Suriah dari kacamata jihadis akan membuat kita mentertawakan teori yang menyederhakanan bahwa pemain di Suriah hanya Iran dan Amerika beserta sekutu mereka. Ini diakibatkan oleh pemahaman teori konspirasi yang berkomplikasi dengan sindrom inferior complex. Merasa sebagai umat yang termarjinal, di mana-mana hanya menjadi bola, ditendang ke sana ke mari sekehendak pemain. Tak pernah memiliki inisiatif sendiri dan selalu berperan menjadi korban. Seolah-olah dunia dan seisinya ini hanya dikendalikan oleh manusia, bukan oleh Rabbul ‘Alamin.
Mari sambut hari esok yang penuh harapan. Harapan bahwa Allah akan menolong siapapun yang menolong agama-Nya. Harapan yang muncul dari sabda as-shadiq al-mashduq Muhammad SAW tentang bandul peradaban yang bergeser kembali ke pangkuan kaum Muslimin. Dan, saatnya kita ucapkan selamat tinggal kepada teori usang—sebagaimana pernah penulis hadapi saat hearing krisis Suriah dengan beberapa ulama di Solo termasuk dari kalangan Syiah: “Menolong rakyat Suriah berarti membantu kepentingan Amerika dan Israel!”
Motif
|
Blok
|
|||
Iran-Hizbullah
|
Rusia – China
|
AS
|
Mujahidin
|
|
Menyelamatkan sekutu militer dan ideology |
Ya
|
Ya
|
||
Melawan intervensi Barat |
Ya
|
Ya
|
||
Menyelamatkan proyek Imperium Persia Raya bernama “Bulan Sabit Syiah” |
Ya
|
|||
Melawan kekuatan Sunni, mengaborsi kekuatan jihadis |
Ya
|
Ya
|
Ya
|
|
Melengserkan Bashar Asad |
Ya
|
Ya
|
||
Melindungi kepentingan Israel |
Ya
|
|||
Memperkuat hegemoni politik luar negeri |
Ya
|
|||
Menolong saudara sesama Muslim | Ya | |||
Melawan musuh-musuh Islam (Syiah dan Zionis Salibis) |
Ya
|
|||
Menghapus Israel dari peta dunia |
Ya
|
|||
Mendirikan milestone menuju Khilafah |
Ya
|
|||
Red : Abdul Aziz Al Makassary
No comments:
Post a Comment