Ideologi Hizbullah dan Al-Qaedah
Islam
Times- Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam
kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan
secara terpisah dari strateginya.
Titik tolak Hizbullah dan Al-Qaeda
Syaikh Naim Qassem, Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, suatu kali pernah menegaskan bahwa Hizbullah memiliki model gerakan yang berbeda dengan model-model gerakan Islam lain. Baginya, memasukkan seluruh gerakan Islam dalam satu keranjang tidaklah tepat. Generalisasi sembarangan ini merupakan kesalahan yang perlu segera dihentikan. Bahkan, mencapuradukkan beragam model dan perilaku gerakan Islam dalam satu label generik, menurut Qassem, jelaslah tendensius. Alasannya, tiap gerakan Islam memiliki berbagai kekhususannya sendiri-sendiri. Lebih jauh, beragam gerakan Islam ini dapat dipilah dalam kelompok-kelompok yang memiliki pikiran, pola kerja dan skala prioritas yang saling bertentangan. Pertentangan ini sedemikian jelas bagi semua pemerhati yang serius mendalami ideologi dan strategi masing-masing gerakan Islam ini.
Dengan demikian, kinerja tiap model gerakan Islam harus dikaji dan dievaluasi secara terpisah kemudian dibandingkan satu dengan lainnya. Dengan cara ini, publik dan umat dapat menilai dengan kritis manakah di antara beragam gerakan Islam tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang bersumber pada rahmatan lil ‘alamin.
Usaha sebagian media massa Barat untuk menggeneralisasi seluruh model gerakan Islam, menurut Qassem, sebenarnya bertujuan untuk menimpakan tanggungjawab yang dilakukan oleh salah satu gerakan yang menggunakan nama Islam kepada semua gerakan Islam lainnya. Tujuan politik busuk itu kini tidak lagi efektif, karena tiap gerakan Islam dengan jelas menampakkan perbedaan dan pertentangan di antara seabrek gerakan Islam yang berbeda-beda itu melalui beragam media yang tersedia.
Salah satu dasar perbedaan itu ialah perbedaan dalam memaknai konsep jihad di antara gerakan-gerakan Islam itu sendiri. Hizbullah, misalnya, memiliki konsep jihad yang defensif dan bersandarkan pada legitimasi moral keagamaan yang kuat, yang secara konsisten diistilahkan dengan muqâwamah (perlawanan, resistence) sebagai ganti dari istilah generik jihad. Penggunaan istilah khas ini bertujuan untuk memisahkan Hizbullah dari ideologi-ideologi gerakan Islam lain yang mengagungkan jihad ofensif (ibtidâi) tanpa dasar-dasar legitimasi moral keagamaan yang kokoh. Hal ini terungkap semakin jelas dengan digunakannya nama al-Muqâwamah al-Islâmiyyah (Perlawanan Islam) pada sayap militer Hizbullah.
Watak defensif dari ideologi jihad Hizbullah semakin tampak jelas melalui tema dan figur utama yang diangkatnya, yakni jihad Imam Husein di hari Asyura yang datang dengan segelintir keluarga dan sahabatnya yang berjumlah tidak lebih dari 72 orang untuk menghadapi ribuan pasukan Yazid di Karbala. Imam Husein menjadi model pengorbanan dan darah yang mengalahkan pedang. Imam Husein mengajarkan prioritas masyarakat di atas individu, betapa pun agung dan suci individu tersebut. Jika perbaikan suatu masyarakat dan penegakan keadilan membutuhkan pada pengorbanan individu atau sekelompok orang, maka individu atau kelompok itu wajib berkorban di jalan tersebut. Meskipun Imam Husein seolah-olah mengalami kekalahan militer di hari Asyura, namun kemenangan abadi justru telah diraihnya dengan gugur sebagai syahid di jalan kebenaran dan keadilan. Tanpa revolusi Imam Husein, maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana yang terjadi sebelum Islam.
Dalam hampir semua diskursus Hizbullah tentang jihad, semangat perlawanan Asyura itulah yang paling ditonjolkan; semangat melawan tanpa kenal menyerah dan menjadikan kesyahidan sebagai sarana menggapai kemenangan abadi di hadapan keganasan dan kebrutalan yang tidak mengenal batas. Asyura merupakan ideologi dan strategi jihad yang menempatkan pengorbanan diri di jalan maslahat kebenaran, kebaikan dan keadilan terbesar.
Sebaliknya, sebagai sebuah perbandingan, kita dapat melihat tema dan figur jihad Al-Qaidah yang biasanya merujuk kepada Thariq bin Ziyad yang datang menyerang Spanyol dengan membawa 12.000 pasukan dan menaklukkan negeri Eropa itu atas perintah Khalifah Dinasti Bani Umayah Al-Walid I. Thariq bin Ziyad memang membawa kemenangan militer yang besar, namun dari segi inspirasi moral dan spiritual tidak bisa dibandingkan dengan kesucian jihad yang dilaksanakan oleh Imam Husein di Karbala. Imam Husein berhasil memberikan arah jihad pada umat sepanjang masa, memberinya fokus yang mempersatukan semua, yakni perlawanan terhadap kezaliman.
Di samping itu, ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilâyah al-faqîh yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya. Interaksi ideologi dan strategi ini melahirkan konsep jihad yang utuh, koheren dan berpijak pada Islam yang autentik.
Oleh karena itu, menurut catatan Amal Saad-Ghorayeb, dalam hampir semua aksi “teror” yang terjadi pada sasaran-sasaran sipil, Hizbullah selalu memberikan pernyataan kutukan. Nawaf al-Musawi, Ketua Departemen Luar Negeri Hizbullah, secara tegas menolak serangan terhadap warga sipil di World Trade Center. Dia mengecam tindakan itu sebagai aksi terorisme. Hasan Nashrullah dalam berbagai kesempatan juga mengutuk aksi-aksi kekerasan terhadap sasaran-sasaran sipil yang mengatasnamakan jihad. Dia juga mengungkapkan bahwa ada perbedaan mendasar antara sasaran-sasaran sipil dan militer di dalam dan di luar Israel. “Di tanah pendudukan Palestina, kita tidak bisa membedakan antara sipil dan tentara, karena mereka semua adalah penjajah, perampok dan perampas tanah.”
Di luar tanah pendudukan, Hizbullah mengutuk keras seluruh aksi kekerasan, terutama bom bunuh diri, yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di tempat-tempat ibadah dan ruang-ruang publik lainnya, terutama di Gaza, Irak, Pakistan, dan Afghanistan terhadap kelompok-kelompok Muslim yang berbeda mazhab.
Uniknya, Hizbullah menyatakan menentang kelompok-kelompok Islam Mesir yang mengangkat senjata untuk melawan rezim Hosni Mubarak yang dikecamnya sebagai pengkhianat dan mengajak mereka untuk mengangkat senjata melawan musuh utama Mesir, yakni Israel. Tujuannya agar energi jihad umat tidak terpecah dan kehilangan fokus perlawanan terhadap rezim zionis Israel. Namun demikian, di sisi lain, Hizbullah dengan tegas mendukung gerakan demonstrasi dan protes damai yang berlangsung di Mesir sejak awal 2011 untuk menggulingkan rezim Mubarok.
Perbedaan ideologi jihad ini menjadi kian rumit ketika dikaitkan dengan konsep takfîr (pengkafiran) yang secara luas diadopsi oleh gerakan-gerakan Islam Wahabi Salafi ini. Yang paling legendaris di antaranya adalah Jamaah Al-Takfir wa Al-Hijrah. Namun gerakan yang paling terkenal akhir-akhir ini adalah Al-Qaedah. Salah satu gerakan jihad yang dibentuk pada tahun 1990-an oleh Abu Mus’ab al-Zarqawi dengan nama al-Tawhîd wa al-Jihâd dan kemudian bergabung di bawah komando Al-Qaidah dengan jelas melancarkan aksi-aksi kekerasan terhadap mayoritas Muslim Syiah di Irak setelah terlebih dahulu dikafirkannya.
Dalam pandangan kelompok-kelompok ini, takfir adalah cara efektif untuk mengidentifikasi sasaran jihad yang absah. Dalam pandangan kelompok ini, dasar legalitas membunuh dan memerangi musuh adalah kekafiran dan bukan agresivitasnya. Konsep takfir menggiring gerakan-gerakan Islam di bawah metonimi Al-Qaidah untuk memiliki kultur jihad yang sangat agresif, tidak mengenal kompromi, aliansi, koalisi atau kerjasama dengan kelompok yang tidak sejalan dengan ideologinya. Lebih jauh, dengan mudah kelompok ini dapat berpecah dan bertikai satu sama lain hanya karena salah satunya berkoalisi dengan kelompok-kelompok di luar lingkaran eksklusif ideologinya.
Di sisi lain, Hizbullah menolak takfir dan dengan demikian tidak menyatakan permusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, dalam banyak kesempatan, Hizbullah menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Menurut penelitian Ali Ridho, gerakan Hizbullah berperan aktif dan proaktif terhadap terwujudnya persatuan umat dan kebangkitan Islam di Lebanon. Demi mendukung kegiatan ini, unsur-unsur Hizbullah terlibat aktif dalam pembentukan dan pengembangan Asosiasi Ulama Muslim (Tajammu’ ‘Ulamâ Al-Muslimîn) yang secara khusus mengusung agenda persatuan umat Islam
No comments:
Post a Comment