Penduduk Philipina Selatan, sebagaimana halnya warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, serta sebagian penduduk Indonesia berasal dari rumpun antropologi yang sama yaitu Austronesian / Malayo Polenesian. Maka.tak heran jika memiliki kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa yang hampir sama. Dalam bahasa Tagalog ( Filipino ) yang kini menjadi bahasa nasional Philipine, terdapat kurang lebih 5000 kata-kata yang hampir sama dengan bahasa melayu ( Indonesia ) walau kadang artinya berbeda. Seperti pintu, kanan, murah, mahal, gunting, aku( ako ), kita, balai dan hitungan angka ( 1 sampai 10 )yang amat mirip dengan bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda sekaligus.
Kesamaan ini semakin kental ketika kebetulan mereka sama-sama beragama Islam. Ketika muslim Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei dan Philippina berkumpul bersama-sama, katakanlah ketika ibadah haji di tanah suci, maka tak ada yang dapat memastikan asal kewarganegaraan mereka. Selain, ketika mereka mulai berbicara tentunya.Sayangnya, eksistensi dan status muslim nusantara tersebut tidaklah sama. Muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Namun menjadi minoritas di Thailand, Singapura, dan Philippina. Memang, menjadi mayoritas tidak menjamin hidup lebih baik, namun terlebih lagi ketika menjadi minoritas. Demikianlah yang terjadi dengan minoritas muslim Moro di Mindanao Philippine.
Apa dan Siapa Bangsa Moro
Salah Jubair dalam bukunya Bangsamoro : A Nation Under Endless Tyranny (1999) menyebutkan bahwa istilah Moro atau Bangsamoro (“bangsa” disini memiliki arti yang sama dengan “bangsa” dalam bahasa Indonesia) adalah istilah yang berasal dari penjajah Spanyol (Spaniards). Sama halnya dengan sebutan etnis lain di Philippina seperti ‘Indio” dan “Filipino”. Kata “Moro” sendiri diadopsi dari bangsa Mauri atau Mauritania di Afrika yang kemudian juga dikenakan kepada bangsa Berbers di Afrika Utara dan juga kepada kaum muslimin yang datang dan menaklukkan Spanyol berabad-abad silam. Maka, istilah Moro akhirnya tidak merujuk kepada kelompok etnis, ras, waktu dan geografis tertentu, namun lebih merujuk kepada kelompok orang yang berafiliasi kepada agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam.
Muslim di Philippina terdiri atas 13 kelompok etnolinguistik, masing-masing Iranun, Magindanaon, Maranao, Tao-Sug, Sama, Yakan, Jama Mapun, Ka'agan, Kalibugan, Sangil, Molbog, Palawani and Badjao. Ada pula muslim di kalangan penduduk pribumi (indigenous people) Mindanao seperti Teduray, Manobo, Bla-an, Higaonon, Subanen, T'boli, dan lain-lain. Selain itu penduduk Muslim juga dapat diketemukan di Luzon maupun Visayas kendati tidakdalam jumlah yang signifikan. Muslim yang mendiami Mindanao, pulau Basilan, Palawan, Sulu dan kepulauan Tawi-Tawi kemudian disebut sebagai Bangsamoro (Lingga, 2004). Data tahun 2005 menyebutkan total muslim di Philippina berjumlah 5% (4.5 juta jiwa) dari total penduduk Philippina.
Peran Pendakwah Minangkabau, Makassar dan Ternate
Indonesia, tepatnya warga Minangkabau, Makassar dan Ternate patut berbangga. Penyebaran Islam di Mindanao tak lepas dari peran pendakwah Minangkabau masa silam. Salah Jubair (1999) menyebutkan sejarah keislaman Bangsamoro berakar sejak tahun 1310 M dengan ditemukannya nisan seorang pemimpin dan pendakwah Islam generasi awal di Mindanao.
Penyebaran Islam di Sulu dan Mindanao diyakini berasal dari para pedagang, guru-guru dan sufi keturunan Arab yang berlayar hingga ke Sulu dan Mindanao (hampir sama dengan model penyebaran Islam di Indonesia). Mereka kemudian mengislamkan dan menikahi penduduk setempat. Masjid pertama di Philippines tercatat berada di Tubig-Indangan di Pulau Simunul. Didirikan oleh Makhdum Karim alias Sharif Awliya, keturunan Arab, sekitar tahun 1380. Berikutnya para musafir keturunan Arab secara berturut-turut membangun kesultanan Sulu pada 1390, dan kesultanan Maguindanao dan Buayan pada akhir abad ke 15
Abhoud Syed M. Lingga (2004) menyebutkan bahwa Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau (‘Menangkabaw’ dalam istilah di Mindanao).Di Mindanao, Sharif Muhammad Kabungsuwan, pendiri kesultanan Maguindanao tiba di Mindanao pada 1515. Ayahnya berasal dari Arab dan ibunya adalah keluarga kesultanan Johor (kini bagian dari Malaysia). Sementara itu, Sultan Sulu ke -7 adalah memiliki darah Brunei (kini Brunei Darussalam).
Kesultanan Makassar dan Ternate masa silam turut memainkan peranan penting di Mindanao. Ketika Gubernur Spanyol Corcuera menyerbu Sulu pada 1638, Rajah Bongsu, Sultan Sulu, mendapat bantuan dari para prajurit Makassar. Sementara itu, kesultanan Ternate kerap membantu Sultan Buisan di Maguindanao dalam perangnya melawan kolonial Spanyol (Lingga, 2004).
Sampai kini masih cukup banyak keturunan Indonesia yang tinggal di Mindanao. Namun kini lebih banyak berasal dari Sulawesi Utara, utamanya kepulauan Sangir Talaud dan Miangas (Pulau Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang berjarak sangat dekat dengan Mindanao dan sebaliknya amat jauh dari Manado). “Saat ini ada sekitar 8000 orang Indonesia yang masih berkewarganegaraan Indonesia di Mindanao. Belum lagi mereka yang tak terdaftar dan mereka yang telah berkewarganegaraan Philippina,” ujar Bernard Loesi, konsul Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Davao City.
Tak puas menyebarkan Islam di Mindanao, pergerakan Islam kemudian melaju ke utara, merambah area Visayan, yaitu Cebu, Mactan, kemudian Palawan, hingga Luzon, pulau dimana metropolitan Manila berada. Salah Jubair (1999) mensinyalir bahwa Metropolitan Manila pada abad ke 16 adalah di bawah kekuasaan raja muslim yaitu Rajah Sulaiman Mahmud. Sama halnya dengan daerah Tondo, Cebu dan Mactan di Visayan.
Datangnya penjajah Spanyol (Spaniards) pada tahun 1521 kemudian mengubah semuanya. Ekspansi dakwah Islam dari Selatan (Mindanao dan Sulu) terhambat dan pertempuran terjadi di banyak tempat selama tiga abad lebih kekuasaan kolonial Spanyol. Perang dengan Spanyol baru mereda pada tahun 1898, yaitu saat beralihnya kekuasaan negeri Philippines dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui perjanjian Paris 10 December 1898.
Identitas Filipino dan Bangsa Moro
Selain mengenakan istilah “Moro” untuk menyebut kelompok muslim di Mindanao, penjajah Spanyol juga menciptakan istilah Philippines. Pada pertengahan abad ke -16 rombongan ekspedisi Spanyol mendarat di Sarangani Mindanao Selatan dan mencoba untuk membangun pemukiman baru. Namun di daerah baru tersebut mereka berbenturan dengan kemiskinan Bangsamoro sehingga rombongan berbalik pulang. Dalam perjalanan pulang ketika melewati gugus kepulauan Samar-Leyte, Bernardo de la Torre, salah seorang kru kapal, memberikan nama kepulauan tersebut sebagai Filipinas, ntuk menghormati Philip, putra mahkota kerajaan Spanyol ketika itu (di kemudian hari menjadi Raja Philip II). Ketika Amerika Serikat menjajah Filipinas, nama tersebut kemudian di-Inggris-kan menjadi Philippines, sampai saat ini.
Apabila Philippines adalah nama negara, maka Filipino adalah sebutan untuk Spaniards yang lahir di Philippines. Namun sejak tahun 1898 istilah Filipino dikenakan juga untuk warga pribumi demi menggalang dukungan warga pribumi dalam melawan Amerika Serikat. Belakangan, istilah Filipino ini kemudian mendapatkan ‘nickname’ baru yaitu Pinoy (untuk kaum Pria Filipino) dan Pinay (untuk kaum wanita Filipino)
Warga pribumi Philippines non Moro sebelum 1898 disebut sebagai Indios. Makna “Indios” adalah ‘native” ataupun “pribumi”. Istilah diskriminatif ala Spaniards kepada penduduk asli Philippina yang bermakna ras yang lebih rendah, primitif dan intelejensia terbatas. Sebenarnya, Indios secara antropologis adalah juga termasuk ras Indo-Malayan sama seperti Bangsamoro. Hanya saja mereka tidak memeluk Islam maka lebih kental dengan sebutan Indios.
Sama halnya dengan etnis Dayak yang memeluk Islam di Kalimantan. Ketika memeluk Islam mereka disebut sebagai Melayu, kendati sebenarnya asal usul etnis tidak berubah. Tetap saja etnis Dayak. Karena ada asumsi bahwa etnis Dayak adalah penganut kepercayaan animism/dinamism ataupun kepercayaan lain di luar Islam.
Sebaliknya, Bangsamoro tetaplah Bangsamoro hingga kini. Roh Islam Melayu jauh lebih dominan daripada Indios apalagi Spaniards. Secara ras, Bangsamoro adalah ras Indo-Malayan. Ciri-ciri fisiknya amat serupa dengan Indo Malayan lain yang kini bermukim di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf Yawi (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.
Secara Etnolinguistik, semua dialek pribumi Moro, dan juga Luzon serta Visayas, adalah berhubungan dan memiliki akar yang sama dengan bahasa di rumpun Austronesian/ Malayo Polynesian. Tak heran, kita mudah menemukan banyak kata-kata yang sama antara bahasa Bangsamoro dengan bahasa Indonesia, Melayu-Sumatra, bahkan bahasa Jawa, ataupun Sunda. Kata-kata seperti Tuhan, Raja, bichara, orangkaya, sultan, memiliki makna yang hampir sama dengan kata-kata yang sama dalam bahasa Indonesia.
Secara afialiasi keagamaan, hampir seratus persen penduduk Bangsamoro adalah beragama Islam. Dengan model keislaman yang kurang lebih sama dengan penduduk Asia Tenggara yang lain.Problem Bangsa Moro
Problem utama Bangsamoro kini adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (Right To Self-Determination). Selanjutnya mungkin adalah kemiskinan, ketertinggalan pembangunan, rendahnya pendidikan, minimnya pekerjaan, diskriminasi, dan juga stigma sebagai teroris.
Tidak salah kalau dikatakan bahwa Bangsamoro selalu berada dalam tirani dan penjajahan. Lepas dari penjajahan Spanyol selama lebih dari tiga abad (1521 – 1898), Bangsamoro berada dalam kekuasaan Amerika Serikat hampir selama lima dekade (1898 -1942). Berikutnya Jepang menguasai mereka selama tiga tahun sampai akhirnya berada dalam kekuasaan Republic of Philippines per 4 Juli 1946.
Perjuangan menuju kemerdekaan masih berlangsung hingga kini. Berturut-turut lahir Moro National Liberation Front (MNLF) pada akhir tahun 1960-an pimpinan Nur Misuari dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hasyim (wafat pada 2003) pada tahun 1981. Lahirnya MILF adalah respon dari ketidakpuasan terhadap MNLF yang dianggap kurang tegas dalam memperjuangkan hak-hak Bangsamoro dan terlalu akomodatif dengan pemerintah Philippina. Belakangan, pada awal 1990-an, lahir Abu Sayyaf Group (ASG) yang dipimpin Abdulrajak Janjalani.
Negosiasi Bangsa Moro dan pemerintah Philippina untuk merumuskan wujud hak menentukan nasib sendiri ini berlangsung berpuluh tahun. Libya, Indonesia dan Malaysia adalah di antara negara-negara OKI (organisasi konferensi Islam) yang rajin memfasilitasi perundingan ini. Pencapaian terakhir Bangsamoro dalam ikhtiar menuju kemerdekaan ini adalah dicapainya status otonomi khusus dengan nama ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) pada 1 Agustus 1989, buah perjanjian antara pemerintah Philippina dan MNLF. Saat ini ARMM terdiri atas enam propinsi yaitu tiga di daratan Mindanao (Maguindanao, Lanao del Sur, Shariff Kabunsuan) dan tiga di kepulauan Sulu (Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi). Jumlah penduduk di enam propinsi mayoritas muslim tersebut mencapai hampir tiga juta jiwa.
Disamping ARMM, bentuk akomodasi lain terhadap Bangsamoro oleh pemerintah Philippina adalah pemberlakuan Code of Muslim Personal Laws of the Philippines pada tahun 1977 yang mengatur urusan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan) masyarakat muslim Philippine. Selanjutnya, beberapa mahkamah syari’ah dibentuk dan hakim-hakim syari’ah ditunjuk . Di bidang ekonomi Islam, Philippine Amanah Bank, yang beroperasi di kalangan muslim, dibentuk pada tahun 1974 oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos.
Sejatinya, tak ada kebijakan pemerintah Philippina ( seperti halnya di negeri-negeri yang muslim nya minoritas) yang secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk muslim. Namun berhubung mayoritas penduduk Philippina adalah Kristen (Katholik dan Protestan), maka banyak kebijakan yang memang dirumuskan sesuai dengan kehendak mayoritas dan akhirnya merugikan minoritas.Sebagai contoh, kebijakan memindahkan penduduk Filipino non muslim ke Mindanao (seperti juga halnya di Pattani Thailand Selatan, Xinjiang di China dll ) atas nama pembangunan, akhirnya cenderung meminggirkan kaum minoritas di Mindanao, yaitu Bangsamoro. Akibatnya kemiskinan, kesulitan dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah cerita yang yang lain. “Penduduk muslim sukar mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor pemerintah maupun di pertanian umum, hanya karena mereka muslim,” tutur Evelyn, muslimah Moro yang tinggal di Mandug Barangay, Davao City.
Masa Depan Bangsa Moro
Bangsa Moro kini hidup di tengah ketidaksinkronan. Ruh-nya adalah Islam Melayu sementara jasadnya adalah Pinoy (Philippines). Hampir sama dengan minoritas muslim Thailand Selatan yang hidup di tengah negeri Buddhist. Muhammad al Hasan (1978) menyikapi situasi ini sebagai berikut : “Kami, Moros dan Filipinos adalah dua kelompok manusia yang berbeda, yang memiliki ideologi, budaya, dan sejarah yang berbeda. Kami juga memiliki konsep kedaulatan yang berbeda. Menurut Filipinos, kedaulatan berada di tangan rakyat Filipino, sedangkan kami sepenuhnya percaya bahwa kedaulatan adalah milik Allah Subhanahu Wata ‘Ala.” Selanjutnya, Muhamad al Hasan mengatakan :
“Budaya kami sangat dipengaruhi oleh kepercayaan, ajaran, dan prinsip-prinsip Islam, yang sangat bertentangan secara diametral dengan kebudayaan Filipino yang sangat terpengaruh budaya kaum kolonial.”Maka, perjuangan Bangsamoro ke depan adalah perjuangan bernegosiasi. Menegosiasikan masa depannya sebagai minoritas. Menegosiasikan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri di tengah mayoritas Pinoy yang bersamaan ras, bahasa, dan warna kulit-nya namun berbeda agama, kultur, maupun ideologi. Perjuangan yang tidak mudah, karena kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, dan stigma sebagai teroris senantiasa melekati mereka.
No comments:
Post a Comment