PASUKAN PANJI HITAM THE BLACK BANNER

Wednesday, May 4, 2011

Raden Jakfar Sodiq (Sunan Kudus)

As an historical figure, Sunan Kudus is difficult to pin down. An inscription discovered above the mihrab in the Al Aqsa Mosque in Kudus reveals that the building was founded in 956 H (A.D. 1549) by Ja’far Shodiq, who is generally identified with Sunan Kudus. The names ‘Ja’far Shodiq’ and even ‘Kudus’ itself, however, have puzzled historians, since the former was the name of an 8th century Persian Imam (Muslim spiritual leader), and Kudus (Arabic Al Quds = Holy City) was the ancient name for the city of Jerusalem. What, if any, are the connections ? Local Javanese sources state that Sunan Kudus was a man of great learning, as well as a poet and philosopher. The son of Sunan Ngudung of Jipang, he was a great religious teacher and is said further to have commanded the forces of the kingdom of Demak, before founding the city of Kudus sometime in the mid 16th century. Sunan Kudus is believed to have died around the year A.D. 1550.
1. Asal -Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.


Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belah timur.
Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
2. KEBIJAKAN SUNAN KUDUS DALAM MENYEBARKAN AGAMA ISLAM
Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun. Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.
“Dengan do’a,” jawab Jakfar Sodiq singkat.
“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka ?”
“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas. Mereka berdo’a hanya karena mengharap hadiah.”
Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran Islami.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
3. CARA BERDAKWAH YANG LUWES
Di Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus ?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.
“Salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat Budha.
Caranya ? memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan Menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui bersama Rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. TANTANGAN KI AGENG KEDU
Bahwa Sunan Kudus itu seorang Wali berilmu tinggi dan sakti sudah dimaklumi masyarakat, tapi ada seorang yang merasa lebih sakti daripada Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng Kedu. Seorang sakti hanya memiliki ilmu peringan tubuh sedemikian rupa sehingga hanya dengan melemparkan tampah ke udara kemudian dia meloncat hinggap di atas tampah itu diapun dapat terbang menurut keinginannya.

Pada suatu hari Ki Ageng Kedu yang penasaran atas kesaktian Sunan Kudus ingin mencoba adu kesaktian. Seperti biasa, dia mengambil tampah kemudian terbang ke daerah Kudus. Orang-orang yang melihatnya merasa kagum dan heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu saja dengan cepatnya di atas rumah-rumah penduduk. Sewaktu berada di daerah Kudus ia tidak langsung turun dari tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling kota Kudus. Murid-murid Sunan Kudus sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi saat itu Sunan Kudus belum keluar dari Masjid, beliau masih membaca dzikir seusai shalat. Dia juga tak merasa heran saat keluar dari masjid melihat Ki Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil namanya.
“Hai Sunan Kudus ayo keluarlah ! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu kesaktian !”
Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki Ageng Kedu !”
Seketika tersirap darah Ki Ageng Kedu. Tampah yang dikendarainya mendadak oleng kesana-kemari. Tak terkendalikan lagi, tubuhnya yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan segera tersedot oleh gaya tarik bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga gaib yang tak tampak oleh mata. Tubuh Ki Ageng Kedu terlempar ke tanah yang becek, yang dalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng Kedu itu jatuh disebut Jember.
Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu lenyap seketika. Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.
5. SUNAN KUDUS SEBAGAI SEORANG SENOPATI Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung. Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat.
Pada bagian ini akan diceritakan secara singkat tugas Sunan Kudus di saat harus berhadapan dengan seorang murid Syekh Siti Jenar yang masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya malam itu terdengar auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demakyang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima.” Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak ?
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju petani. Tapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini.
Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” Kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,” Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam ? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam. Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah , luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah ! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”
“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.” Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriakberteriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar kea rah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak ! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah !” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts